SuaraBatam.id - Presiden Tunisia Kais Saied putuskan untuk membubarkan pemerintah dan membekukan parlemen pada Minggu (25/7/2021) kemarin. Langkah ini dianggap ekstrim dan diprediksi bakal memperparah krisis politik di negara itu.
Menyambut keputusan ini, warga nampak berkemurun di Ibu Kota Tunis untuk mendukung langkah presiden, meski oposisi menyebut tindakan Saied itu sebagai kudeta.
Dalam keterangan resminya, Saied mengatakan dia akan mengambil alih kekuasaan eksekutif dengan bantuan perdana menteri yang baru.
Konstitusi demokratis 2014 yang memisahkan kekuasaan presiden, perdana menteri, dan parlemen kini menghadapi tantangan terbesar.
Baca Juga:Viral Lagi, Warga Bondowoso Ambil Paksa Jenazah Covid di Puskesmas Lawan Polisi dan TNI
Kerumunan orang memenuhi jalan-jalan di Tunis, bersorak-sorak dan membunyikan klakson kendaraan. Suasana itu mengingatkan pada revolusi 2011 yang membawa demokrasi dan memicu aksi protes "kebangkitan dunia Arab" (Arab Spring) yang mengguncang Timur Tengah.
"Saya peringatkan siapa pun yang berpikir untuk menggunakan senjata dan siapa pun yang menembakkan peluru, tentara akan membalasnya dengan peluru," kata Saied dalam pernyataan di televisi.
Korupsi, layanan publik yang buruk dan ppeningkatan pengangguran membuat negara itu makin sulit bangkit. Masalah ini diperburuk dengan wabah virus corona.
Protes, yang diserukan aktivis media sosial tapi tidak didukung partai besar mana pun, bermunculan pada Minggu. Sebagian besar kemarahan tertuju pada partai Islam moderat Ennahda yang menguasai parlemen.
"Kami telah terbebas dari mereka," kata seorang perempuan bernama Lamia Meftahi tentang pemerintah dan parlemen. Dia ikut merayakan keputusan Saied itu di Tunis tengah.
Baca Juga:Viral Pria Positif Covid-19 Peluk dan Ludahi Orang, Warga Geram Hingga Diikat dan Dipukuli
"Ini adalah momen paling membahagiakan sejak revolusi," tambahnya.
Ennahda, yang dilarang sebelum revolusi, telah menjadi partai paling sukses sejak 2011 dan selalu menjadi bagian pemerintahan koalisi.
Rached Ghannouchi, pemimpin Ennehda yang juga ketua parlemen, lewat percakapan telepon dengan Reuter segera menyebut keputusan Saied "sebuah kudeta terhadap revolusi dan konstitusi".
"Kami menganggap institusi masih berdiri, dan pendukung Ennahda dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," kata dia, meningkatkan kemungkinan munculnya bentrok antarpendukung Ennahda dan Saied.
Dalam pernyataannya, Said menjelaskan, tindakan yang diambilnya sesuai dengan Pasal 80 konstitusi. Dia juga mengutip pasal itu untuk mencabut kekebalan anggota-anggota parlemen.
"Banyak orang tertipu oleh kemunafikan, pengkhianatan, dan perampokan hak-hak rakyat," kata dia.
- 1
- 2