SuaraBatam.id - Awan gelap yang mengantung di Kota Batam sejak, Sabtu (20/10/2022) pagi, tidak menyurutkan semangat dua pria yang tetap berjibaku memungut sampah di pesisir Tanjunguma, Lubuk Baja.
Kedua pria yang diketahui bernama, Muhammad Yamin (37) dan Raja Asri (39) terlihat tetap menggenakan sarung tangan, dan sepatu boot sembari menggaruk sampah di laut yang telah mengendap walau gerimis mulai turun.
Setelah berhasil menggaruk, sampah di kawasan pesisir yang dipenuhi oleh warga ini, keduanya memasukkannya ke dalam kantong hitam besar, setelah penuh, sampah kemudian dipikul, lalu diletakkan di pinggir pantai, untuk kemudian diangkut menggunakan mobil pick up.
"Sehari kita bisa kumpulkan sampai 20 kantong, jadwal kerja kami dari Senin sampai Sabtu, dan jam kerja mulai dari jam 8 pagi hingga 4 sore," ungkap Yamin sembari melepas lelah, Sabtu (22/10/2022) sore.
Baca Juga:Atasi Masalah Sampah, Pemkot Ternate Distribusikan Kendaraan Roda Tiga untuk Tiga Kecamatan
Yamin mengaku sebagai anggota Satgas Pasang Surut, tugas utamanya adalah membersihkan sampah di sepanjang pesisir laut Kota Batam, terutama di kawasan Tanjung Uma yang diketahui merupakan kawasan padat penduduk.
Dulunya, sebagai anggota Satgas Yamin bekerja berada dalam naungan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), setelah berganti menjadi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di tahun 2017.
Dan kini para petugas satgas, telah di bawah naungan Kecamatan, dan bekerja dengan sistem kontrak.
"Untuk di Tanjung Uma kami hanya berdua saja. Tapi ada juga pekerja yang bertugas di wilayah pesisir lain," paparnya.
Mengingat masa baktinya, pria yang akrab disapa Param ini, telah bekerja selama sebelas tahun sebagai anggota Satgas yang berjaga di wilayah Tanjung Uma.
Baca Juga:Dua Pekerja PT Marcopollo Batam Meninggal karena Kecelakaan Kerja, Diduga Terkena Ledakan
Yamin menuturkan baru memulai pekerjaannya pada tahun 2011 lalu, disaat sampah pada kawasan pesisir Tanjung Uma setinggi lututnya.
"Mana bisa kita garu sampah setinggi lutut gitu. Langsung masukkan aja ke kantong," katanya mengingat kilas balik awal mula ia membersihkan sampah itu.
Minta Upah Dinaikan Pemerintah
Kerja yang mereka lakukan, menurutnya harus diberi nilai lebih oleh pemerintah, bagaimana tidak, kondisi sampah di lokasi itu sudah mulai berkurang dan terlihat lebih bersih.
Namun, nyatanya upah keduanya tak kunjung naik dan bertahan di angka Rp3,5 juta.
Mereka tak mengeluh, hanya saja berharap dapat dihargai oleh Pemerintah jika memungkinkan.
Param menilai sampah di laut tempat biasa ia dan Raja bersihkan tampaknya sulit untuk habis, karena sampah itu datang bersama air pasang, dan disaat air surut sampah-sampah akan mengendap.
Tidak sampai di sana, pekerjaan Param dan Raja akan berlipat ganda kala masuk di musim Utara, angin kencang beserta arus turut membawa sampah yang tidak diketahui darimana asalnya.
"Sampah ini kan bukan murni dari warga, walaupun memang ada juga yang buang ke laut, ini juga datang dari sana (Pasar TOS 3000 dan Pasar Induk Jodoh). Pengaruh air naik juga, apalagi musim Utara, pas bulan Oktober sampai Februari. Sampah jauh lebih banyak, 20 kantong yang biasa, bisa jadi lebih. Bisa sampai 60 kantong," terangnya sembari melihat pesan yang masuk melalui handphone miliknya.
Param bercerita, dulu Satgas Pasang Surut pernah menggunakan perahu untuk mengangkut sampah di laut.
Namun, di 2015, perahu itu rusak dan tak lagi bisa diperbaiki, dan saat ini ia hanya memungut sampah di pinggiran dengan alat seadanya.
"Pompong yang kayu rusak, jadi yang bisa kita jangkau saja. Saya sudah ajukan lagi yang fiber, ke Kecamatan hingga DLH tapi tak ada dapat. Dulu pompong itu dulu untuk keliling laut Harbour Bay sampai Batu Ampar, 2011 sampai 2015. Anggaran perawatan ada. Diperbaiki rusak, perbaiki dempul dan cat saja. Boat speed aja. Mesin sudah ada," katanya dengan penuh harap.
Permasalahan sampah juga ada di Kampung Agas RW 04, Kelurahan Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja. Nasib berbeda meski satu Kelurahan.
Berbeda dengan RW 08, sampah di RW 04 hingga saat ini tidak ada yang mengurusi, dan kondisi sampah kini dibiarkan mengendap, serta mengeluarkan bau tak sedap.
Disinggung mengenai hal ini, Param mengatakan, RW 04 bukanlah tanggung jawab mereka, meski lokasinya tak begitu jauh dengan wilayah kerja Param dan Raja, RW 04 tidak masuk dalam wilayah yang harus dibersihkan Satgas Pasang Surut.
"Wilayah kerja kami sini saja. Kalau di sana bukan wilayah kita, bawah kolong rumah orang macam mana hendak ngambil. RW 04 dari dulu tak pernah diangkut, di sini tiap hari diambil," katanya sembari mengelap butiran keringat di wajahnya.
Sebelas tahun sudah ia menjalani pekerjaan sebagai Satgas Pasang Surut, berbagai suka dan duka telah mereka lewati, tapi menurut Param, lebih banyak sukanya.
"Ada juga yang tak sedap, macam orang buang sampah pas petugas lagi mungut. Lagi sedap kerja warga buang sampah, macam mana tak marah. Bertekakklah, sampai saya bilang, ‘abang punya otak, tak?’ Mohon maaf. Kadang sudah saya laporkan, orang kita juga," katanya dengan nada kesal.
Di lokasi tempat keduanya mencari nafkah itu rencananya akan dibangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) oleh Badan Pengusaha (BP) Batam.
Berdasarkan data yang diperoleh dari BP Batam, tidak hanya Tanjung Uma, untuk Kota Batam sendiri rencananya akan dibangun tujuh titik pembangunan IPAL.
Namun Hal ini justru menimbulkan kekhawatiran bagi Param dan Raja, mereka khawatir, lapangan pekerjaan mereka akan hilang, karena tidak ada lagi sampah laut yang akan mereka bersihkan.
"Harapannya kalau benar IPAL itu dibangun, kalau sampah bekurang Alhamdulillah. Tapi jangan sampai tak ada sampah, kami diputuskan kerja, saya dari 2012 kerja banting tulang, jangan pulak bersih saya dibuang," cemasnya.
Terpisah berjarak 24 kilometer dari Tanjung Uma, tepatnya di Tanjung Riau, Sekupang, Batam, Khaidir (36) dan yang juga bertugas menjaga kebersihan laut.
Bersama dengan rekannya Param, Khaidir juga merupakan anggota satgas yang telah bekerja sejak 2012 silam.
Menurutnya, Satgas ini ada di tiga wilayah Kota Batam, yakni Tanjung Uma (Kecamatan Lubuk Baja), Tanjung Riau (Sekupang) dan Bengkong Sadai (Bengkong).
“Kalau Bengkong Sadai, Wallahualam. Tak pernah dengar kabar lagi,” kata Khaidir saat ditemui.
Berbeda dengan nasib Param, Khaidir justru lebih beruntung, meski tak dapat pompong fiber yang mereka ajukan, ia mendapat pompong kayu bermesin tempel 20 PK.
“Boat ada, waktu itu masih di Dinas Kebersihan, boat itukan rusak sekitar 2018, diperbaiki tapi tak bisa, terlalu banyak yang rusak. Tapi kami Alhamdulillah baru tahun ini dapat hibahan dari Pariwisata. Memang pernah kami ajukan speed viber tapi namanya juga hibah,” ujar pria tambun itu.
Jika Param dan rekannya dalam sehari bisa memungut 20 kantong sampah, hanya di kawasan Tanjung Uma.
Khaidir menuturkan dalam sehari ia dan rekannya hanya dapat mengumpulkan tujuh kantong sampah, dikarenakan sampah di pesisir Tanjung Riau tidak seperti wilayah pesisir lain
“Hitungan sedang tujuh kantong, biasa kalau musim Utara lebih banyak,” katanya.
Terkait pengupahan, mereka mendapatkan jumlah yang sama, hanya saja, mereka mendapat tambahan untuk perawatan pompong per tiga bulan sekali, kurang lebih Rp1 juta.
"Paling ganti tali kalau bocor, cat sama minyak. Oli mesin," katanya.
Selama kurang lebih 11 tahun bekerja, ia bersyukur kontraknya masih diperpanjang dan gajinya masih lancar.
“Dukanya mulut warga. Jumpa yang buang langsung takada, hanyut baru ada. Kalau ada, itu lebih menyakitkan lagi,” ujarnya dengan suara pelan.
Khaidir berharap, sampah semakin bekurang, kesadaran masyarakat untuk tidak buang sampah sembarangan.
“Apalagi daerah kami ini kan juga tempat wisata. Sekarang sudah jauh lebih bersihlah. Untuk angkut sampah juga tak susah, banyak mobil untuk buang ke TPS," ujarnya.
Kontributor : Partahi Fernando W. Sirait