SuaraBatam.id - Beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan baru-baru ini terkuak, terutama di lingkup universitas.
Tahun ini, paling mengemuka, kasus pelecehan dan kekerasan seksual oleh dosen di Universitas Riau (Unri), kasus pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya dan kasus pelecehan seksual di Universitas Brawijaya yang menyebabkan korbannya sampai bunuh diri.
Kasus pelecehan dan kekerasan itu telah memberikan kekhawatiran, masih amankah kampus untuk mahasiswa? terlebih bagi perempuan?
Di Batam kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan universitas juga pernah diungkap. Kasus ini menjadi kasus perdana yang dilaporkan dan dimuat di berbagai media di Batam dan nasional pada tahun 2021.
Baca Juga:Buruh di Batam Bakal Gelar Aksi Unjuk Rasa Terkait UMK 2022
Kejadian dilaporkan pada bulan April 2021 oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Politeknik Negeri Batam, diketahui dari akun instagram organisasi itu.
Pelakunya tak jauh, adalah seorang pengurus BEM kampus tersebut. Keberanian korban (mahasiswi) yang melaporkan ini patut diapresiasi, karena selain tak mudah untuk speak up, mencari bukti kasus pelecehan seksual juga sulit, kecuali punya rekam/jejak digital dari Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Kasus pelecehan di Poltek ini, korban menerima kekerasaan seksual secara fisik dan KBGO yaitu pelaku meminta penyintas menunjukan anatomi seksualnya dengan menggunakan video call whatsapp. Diduga, korban melebihi satu orang.
Beruntung, kasus ini ditanggapi cepat oleh pihak manajemen kampus dan kontribusi BEM Poltek yang bergerak maju membentuk tim darurat kekerasan lebih dulu.
Dalam penyelesaian kasus, korban juga didampingi oleh Unit Layanan Tanggap dan Pencegahan Kekerasaan Seksual sebagai mediator dan advokasi.
Baca Juga:KPPAD Batam Rencanakan MoU dengan Kemenag untuk Pengawasan Anak di Ponpes
Kemudian, manajemen kampus juga berkoordinasi dengan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah Kepulauan Riau (KPPAD) dan Himpunan Psikologi Indonesia Kepulauan Riau (HIMPSI).
Tindak lanjut kasus ini, setelah ditemukan cukup bukti, manajemen kampus menyatakan pelaku bersalah pada kasus kekerasaan seksual pada seorang mahasiswi. Akhirnya, pada Mei 2021 manajemen kampus menjatuhkan sanksi kepada pelaku yakni skorsing 1 semester. Kasus dinyatakan selesai.
Cara melaporkan kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi
Menurut Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim dalam Youtube Kemendikbud Ristek Merdeka Belajar Episode Keempat Belas secara daring, Jumat (12/11/2021) bahwa survei yang dilakukan kementerian itu tahun 2020: 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, sebanyak 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus itu.
Artinya, masih banyak kasus pelecehan di universitas yang belum diungkap. Tapi, beberapa yang speak up, dinilai sebagai langkah maju, karena butuh keberanian korban dan orang-orang yang mendukungnya.
Tidak semua korban pelecehan seksual mau melaporkan, karena takut dan malu. Apalagi, pelecehan seksual masih dianggap 'aib' bagi universitas.
Selain itu, mahasiswa belum mengetahui kepada siapa melapor dan apa yang harus dilakukan jika terjadi. Hal itu juga diungkapkan oleh seorang mahasiswi di Batam. Sebut saja namanya Citra.
"Di kampus saya belum punya wadah untuk melaporkan kasus kekerasan seksual. Saya juga tidak tahu kalau terjadi harus melapor ke siapa, dulu di SMA kan kita punya BK, di kampus saya tidak tahu apa ada," kata dia saat diwawancara, Minggu, 12 Desember 2021.
Citra sendiri berharap kampus menjadi tempat yang aman untuk belajar bukan tempat melampiaskan 'nafsu'. Sebagai perempuan, Ia juga merasa miris dengan kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.
"Saya sendiri belum pernah mengalaminya, cuma yang kasus Poltek saya pernah dengar. Saya juga sering melihat kasus kekerasan seksual pada perempuan yang diungkap di Tiktok. Sebagai perempuan kita memang diminta berhati-hati tapi menurut saya laki-laki juga perlu diedukasi," kata mahasiswi semester 5 tersebut.
Citra berharap universitas punya wadah untuk pelaporan dan penanganan kasus pelecehan seksual di kampus. Sehingga, jika terjadi, pelaku bisa disanksi.
"Kalau bisa pelaku di DO aja deh, biar korban tidak trauma lagi ke kampus," kata mahasiswi jurusan manajemen itu.
Ketua Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kota Batam, Abdillah juga sependapat bahwa kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Perguruan Tinggi tidak diungkap disebabkan karena korban tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Menurutnya, penting dilakukan sosialisasi di lingkungan pendidikan agar korban mengetahui cara mengantisipasi kekerasan seksual hingga penanganannya. Abdillah menyarankan bagi korban pelecehan seksual untuk melaporkan kasusnya.
"Pertama ada dua tempat yang bisa didatangi korban, kalau merasa masih anak bisa datang ke KPPAD. Kami akan telaah, apabila lebih dari 18 tahun, kami rujuk ke P2TP2A. Hal itu berlaku kalau dia perempuan, kalau korban lelaki langsung ke polsek terdekat," kata dia.
Lanjut dia, korban juga bisa ke unit PPA Polres atau Polda Kepri. Kalau di lokasi luar kampus atau lingkungan sekolah, bisa langsung ke RT setempat.
"Saran saya, setidaknya semua perempuan memiliki nomor kontak untuk pelaporan kekerasan yang mungkin dapat dialaminya di lingkungan belajar atau tempat tinggal. Sekarang kan dah canggih, ada WA, ada IG, FB," ujarnya.
Gesa Kampus Bentuk Satgas Pencegahan dan Pelecehan Seksual
Diungkapnya berbagai kasus pelecehan dan kekerasan di PT, mendorong Kemendikbud Ristek mengeluarkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Permen PPKS tersebut telah ditetapkan pada 31 Agustus 2021. Satu pasal yakni 1 (ayat 14) tentang Kewajiban Pembentukan Satuan Tugas di Perguruan Tinggi yang berbunyi:
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Secara umum universitas di Indonesia belum punya Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan Kekerasaan Seksual di kampus, apalagi satgas khusus menangani pelaporan dan penanganan kasus tersebut.
Di Batam sendiri, contohnya Poltek juga belum punya SOP penanganan Kekerasaan Seksual pada saat kasus terjadi. Namun saat ini, Direktur Poltek Batam, Uuf Brajawidagda mengatakan bahwa kampus tersebut sedang mempersiapkan pembentukan satgas sesuai instruksi Permendikbud itu.
"Kita sedang bentuk timsel untuk pendaftaran satgas PPKS. Sosialisasi juga kita lakukan, melibatkan alumni, KPPAD Batam dan banyak lagi. Target satgas satu semester pembentukan, sekitar Maret atau April akan langsung berjalan," ujar dia.
Uuf mengatakan, satgas akan bertugas mensosialisasikan pencegahan kekerasan seksual, menerima laporan korban hingga pendampingan korban di kampus.
"Semoga semua mahasiswa dan semua pihak aware. Intinya gak ada yang ditutupi. Makin banyak yang terlibat makin baik untuk pengawasan," ujar dia menegaskan.
Sementara itu, Presiden Mahasiswa Poltek Batam, Irwanda mengatakan bahwa instruksi dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 itu adalah bentuk perjuangan dari komunitas, dan pergerakan di masing-masing kampus di Indonesia.
"Jadi ini satu langkah maju dari pemerintah khususnya kemendikbud, bahwa hal ini adalah masalah serius," kata dia.
Menurutnya, selain berharap pada satgas, di Poltek sendiri lebih dulu membentuk Unit KS (kekerasan seksual).
"Kalau satgas terbatas. Ada elemen mahasiswa, dosen, staf, dan civitas kampus. Sementara dari elemen mahasiswa ada Unit KS. Unit yang berfungsi sebagai wadah bagi edukasi, belum banyak yang paham gender itu apa, dan apa saja tindakan yang masuk dalam kategori kekerasan seksual," ujar dia.
Menurutnya, KS dapat membantu apabila ada mahasiswa yang takut lapor ke satgas.
"Semua kampus udah lebih dulu membentuk unit KS sebelum ide satgas ini. Kasus terakhir kemarin merupakan salah satu yang ditangani oleh unit KS," kata dia.
Kontributor : Partahi Fernando W. Sirait