
“Jadi tiap hari siswanya juga bergantian ke sekolah. Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak sama dengan anak-anak reguler atau biasa lainnya. Mereka butuh pendampingan yang optimal. Kalau anak-anak reguler, disuruh menulis ya mereka akan menulis, sementara ABK ini butuh bantuan seperti dipegang tangannya kalau disuruh menulis,” katanya.
Dia menuturkan, di awal rencana belajar secara daring yang dianjurkan pemerintah, beberapa orangtua bahkan ingin berhenti menyekolahkan anaknya di sana.
Belum memiliki pengetahuan khusus tentang penanganan ABK, serta disibukkan dengan kegiatan lain, menjadi salah satu faktor dari keputusan tersebut.
Hefrina bersama guru lainnya lalu berpikir bagaimana cara agar anak-anak itu mendapatkan haknya untuk sekolah, dan diputuskan mempersingkat jam belajar.
Baca Juga: Kabar Duka, Wahendra Tewas Akibat Sakit Gigi saat Melaut
“Mulanya, dalam aturan dari Dinas Pendidikan, proses belajar tatap muka hanya tiga kali dalam seminggu. Tapi karena permintaan dari orangtua banyak, apalagi dari kelas VI yang bakal ujian kelulusan, maka dibuatlah jadwalnya menjadi Senin-Rabu-Jumat dan Selasa-Kamis-Sabtu,”
Menurut Hefrina, pertimbangan lain dibukanya belajar tatap muka adalah karena murid yang duduk di kelas bawah banyak yang memiliki kendala seperti tidak dapat bicara dan gerak motorik yang terbatas.
Dengan keterbatasan itu, pihaknya khawatir murid-murid di SLB Putrakami Batam tidak mendapatkan dan mengerti materi belajar mereka secara maksimal.
Menurutnya tiap anak memiliki beberapa indikasi pada usia dini sebelum akhirnya ditetapkan sebagai ABK.
Dalam deteksi dini, Hefrina biasanya menjelaskan seorang anak bakal cenderung ke sifat atau arah tertentu, baik fisik delay, hiperaktif, disabilitas intelektual, down syndrom, atau slow learner.
Baca Juga: Semangat Vaksinasi Merdeka, Dijemput Odong-odong dan Dapat Undian Sepeda Motor
Hefrina juga menegaskan, tiap ABK tetap memiliki hak untuk bersekolah di sekolah reguler tanpa harus belajar di SLB.
Namun, dengan catatan orangtua harus terbuka dengan pihak sekolah reguler yang dituju.
Sehingga pihak sekolah itu dapat menghadirkan guru pendamping yang dapat menangani anak itu.
“Jadi ABK juga punya hak dan kesempatan yang sama dengan anak-anak lain pada umumnya. Kita sebagai masyarakat di kehidupan sosial pun tidak boleh memandang mereka sebagai hal yang aneh dan berbeda,” kata dia.
Kontributor : Partahi Fernando W. Sirait
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Datang Penyerang Keturunan Rp 15,6 Miliar untuk Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- 6 Mobil Bekas untuk Keluarga di Bawah Rp50 Juta: Kabin Luas, Cocok untuk Perjalanan Jauh
- Keanehan Naturalisasi Facundo Garces ke Malaysia, Keturunan Malaysia dari Mana?
- 4 Rekomendasi Mobil Bekas Merek Jepang di Bawah Rp100 Juta: Mesin Prima, Nyaman buat Keluarga
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Anti Hujan Terbaik 2025: Irit, Stylist, Gemas!
Pilihan
-
7 Rekomendasi HP Murah dari Merek Underrated: RAM hingga 12 GB, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
-
9 Mobil Bekas Tahun Muda di Bawah Rp100 Juta: Nyaman, Siap Angkut Banyak Keluarga
-
5 Mobil Bekas buat Touring: Nyaman Dalam Kabin Lapang, Tangguh Bawa Banyak Orang
-
6 Skincare Aman untuk Anak Sekolahan, Harga Mulai Rp2 Ribuan Bikin Cantik Menawan
-
5 Rekomendasi Mobil Kabin Luas Muat 10 Orang, Cocok buat Liburan Keluarga Besar
Terkini
-
Bocah di Batam Dianiaya Ayah Tiri, Ditemukan Terlantar di Rumah Sakit
-
ASN Tewas Usai Kencan 'Panas' dengan Wanita Muda di Hotel Karimun
-
9 WNA Dideportasi Imigrasi Batam gegara Salahgunakan Izin Tinggal
-
5 Alasan Mengapa Mobil Rental adalah Pilihan Cerdas untuk Liburan Anda
-
Inilah 5 Kebiasaan yang Membuat Tagihan Listrik Bisa Bengkak!