Scroll untuk membaca artikel
Eliza Gusmeri
Rabu, 20 September 2023 | 18:51 WIB
Pemerhati Lingkungan dan HAM: PSN Rempang Eco-City Abaikan Hak-hak Masyarakat Adat
Bukti Kehidupan Orang Suku Darat Rempang pada tahun 1930 dalam artikel Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (ist)

Karena sampai saat ini Pulau Rempang masih menjadi kawasan konservasi pada SK.179/IV-KKBHL/2013 tanggal 21 Juli 2013, selain itu SK ini kemudian diperkuat oleh Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam SK.76/IV-KKBLH/2015 Tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam Dan Taman Buru yang menyatakan bahwa Pulau Rempang masih teregister sebagai kawasan Taman Buru oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Selain itu, Dokumen Gubernur Kepulauan Riau, Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau No. 1 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau tahun 2017-2037 pada pasal 41g menyatakan bahwa Rempang merupakan Hutan Lindung.

Lalu, secara tiba-tiba terbitlah HPL atas wilayah tersebut kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) bulan Juli 2023. "Masih menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah memberikan HPL atas kawasan hutan, Artinya, pemerintah telah menyalahi kebijakan yang mereka atur sendiri,” tegas Ferry.


Masalah Besar di Balik PSN

Baca Juga: Muncul saat Aksi Bela Rempang di Jakarta, Menantu Habib Rizieq Duduk di Karpet dan Dijaga Ketat Laskar FPI

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Pemerintah seolah sedang ‘mengebut’ dalam menyelesaikan rangkaian PSN di berbagai wilayah. Tercatat hingga September 2023, sudah ada sebanyak 161 PSN yang sudah terealisasi.

Namun, organisasi kemasyarakatan yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyoroti pelaksanaan PSN yang cacat secara prosedur dan proyek dilaksanakan secara terburu-buru.

Banyak permasalahan besar yang muncul seperti: tidak adanya persetujuan sejak awal penetapan lokasi PSN, proses musyawarah yang dilakukan tidak dengan itikad baik, hingga intimidasi terhadap masyarakat sekitar proyek, yang seringkali berakhir dengan kriminalisasi. Mirisnya, upaya kriminalisasi tersebut justru menimpa orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup yang baik bagi generasi penerus bangsa ini.


“Seperti konflik di Rempang yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah menyangkal bahwa masyarakat yang tinggal di Rempang bukanlah Masyarakat Adat, serta belum memiliki legalitas hukum. Tetapi, jika 16 Kampung Tua mengklaim eksistensi mereka sebagai Masyarakat Adat melalui hukum adat maka itu harus dihormati. Ketiadaan pengakuan dari negara tidak berarti bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak atas wilayah adatnya yang telah ditempati secara turun-temurun itu hilang”, tegas Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) PB AMAN.

Baca Juga: Tambang Ilegal Kian Marak di Jawa Tengah, Proyek Strategis Nasional Disebut Turut Andil, Benarkah?

Sementara itu, data AMAN selama 5 (lima) tahun terakhir (2018-2022) mencatatkan setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 Juta hektar wilayah Masyarakat Adat.

AMAN mencatat beberapa konflik lainnya yang sudah terjadi akibat PSN seperti proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, proyek Geothermal di Manggarai, NTT, hingga proyek pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.

“Semua konflik itu kami dokumentasikan dalam Catatan Akhir Tahun AMAN. Pada IKN sendiri, setidaknya terdapat 21 komunitas Masyarakat Adat yang mendiami wilayah pembangunan IKN. AMAN memperkirakan sedikitnya terdapat 20,000 jiwa Masyarakat Adat yang akan terampas haknya akibat proyek ambisius IKN di Kalimantan Timur itu”, tambah Arman.

Arman menjelaskan untuk kesekian kalinya tidak terlihat peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mencegah terjadinya tindakan represif terhadap Masyarakat Adat. “Pemerintah/penyelenggara negara gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi hak-hak warga termasuk dalam hal ini masyarakat adat, bahkan cenderung lebih pro terhadap kepentingan investasi-korporasi,” jelasnya.


Potensi konflik justru dipicu oleh kehadiran aparat dalam jumlah besar. Ada ketimpangan dalam adu kekuatan antara aparat dengan masyarakat terdampak, terutama Masyarakat Adat. Pola serupa terjadi di semua PSN yang saat ini sedang dikebut oleh pemerintah seiring dengan hampir berakhirnya periode pemerintahan Presiden Jokowi di 2024 mendatang.

“Saya tegaskan, kita tidak bisa ‘membeli’ sejarah. Negara telah gagal mempertahankan identitas warganya dan menghilangkan ruang hidup dan penghidupan mereka, terutama pada anak-anak muda sebagai pemilik masa depan bangsa ini”, tutup Arman.

Load More