
Sepuluh Hak Masyarakat Adat yang Terampas akibat PSN
Peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rempang tanggal 7 September 2023 harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Herlambang P Wiratraman, Dosen Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) menilai setidaknya ada 10 (sepuluh) hak Masyarakat Adat yang terampas dalam proses pelaksanaan PSN di berbagai wilayah di Indonesia. Kesepuluh hak tersebut adalah 1) Negara telah berdosa karena gagal menjamin hak hidup, 2) Negara membiarkan kekerasan terjadi kepada anak-anak, 3) terjadinya pelumpuhan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga, 4) tidak adanya jaminan atas hak kolektif dalam mempertahankan wilayahnya, 5) tidak adanya pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat yang dijamin dalam sistem hukum yang adil, 6) terjadinya berbagai serangan siber, 7) adanya kekerasan oleh aparat dan premanisme, 8) hilangnya hak hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat, 9) hak milik pribadi dan hak lainnya yang diambil alih secara paksa, dan 10) Negara gagal menjalankan mandat konstitusional: perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.
“Kesepuluh pelanggaran hak ini tidak hanya terjadi di Rempang saja, melainkan di wilayah lainnya seperti kasus PSN Bendungan Bener, di Wadas. Hal ini sangat saya sayangkan karena seluruh hak yang diatur dalam konstitusional negara justru dilanggar oleh pemerintahnya sendiri. Ditambah lagi, produk hukum seolah diatur menyesuaikan untuk bisa mengakomodir PSN. Bahkan di lapangan seringkali terjadi manipulasi fakta yang sudah
beyond-the-law”, tambah Herlambang.
Selain HAM, ada hak lain yang juga dilanggar pemerintah terhadap Masyarakat Adat dalam konteks Free, Prior, Inform, and Consent (FPIC).
Pemerintah seharusnya berkomunikasi dan melakukan sosialisasi atas sebuah proyek pembangunan.
“Dalam melakukan FPIC ini pemerintah harus mengakui hak Masyarakat Adat untuk mengambil keputusan yang tepat terkait hal-hal yang mempengaruhi tradisi tradisi dan cara hidup mereka.” paparnya.
Herlambang menilai PSN lebih mengutamakan kepentingan investasi ketimbang kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya. “Sampai saat ini, saya masih mempertanyakan ‘ukuran’ strategis dalam mengukur program ini. Karena setiap proyeknya didominasi oleh politik investasi bukan untuk kesejahteraan sosial. PSN ini sangat kental dengan capital-driven-investment. Jadi, strategis di sini itu ‘strategis untuk siapa’?,” ungkap Herlambang.
Solusi Penyelesaian Konflik Akibat PSN
Agar tidak memakan banyak korban, berbagai konflik yang terjadi akibat PSN perlu penyelesaian secara cepat, efektif, dan mengakomodir hak masyarakat sekitar, termasuk Masyarakat Adat. Organisasi masyarakat yang diwakili oleh WALHI dan AMAN menyerukan untuk menghentikan PSN yang berpotensi memicu konflik.
Baca Juga: Tambang Ilegal Kian Marak di Jawa Tengah, Proyek Strategis Nasional Disebut Turut Andil, Benarkah?
Merespons penyelesaian konflik Rempang, Ferry dari WALHI menyampaikan bahwa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan pengakuan terhadap masyarakat yang ada di pulau Rempang.
Pengakuan ini harus dibuktikan dengan tidak dipaksa keluar dari kampung Melayu Tua. Kemudian, PSN ini harus dihentikan karena sudah mencederai dan menjauhkan masyarakat dari sumber penghidupannya.
“Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang seolah melegalkan kejahatan kemanusiaan. Salah satunya melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Lalu, yang juga perlu dicek adalah dokumen yang sudah dikeluarkan seperti HPL pada perusahaan PT MEG yang akan mengembangkan Rempang Eco City. Sekali lagi saya tegaskan, HPL bukan pengakuan hak atas tanah hanya hak pengelolaan yang bisa diberikan kepada badan usaha/pemerintah. Tetapi, jika ada masyarakat di atasnya wajib direlokasi diganti rugi dengan syarat musyawarah,” tutup Ferry.
(*)
Berita Terkait
-
Dari Tano Batak hingga Papua: AMAN Laporkan Kasus Kriminalisasi Masyarakat Adat ke PBB
-
Harapan dari Tiga Hutan Tropis Dunia: Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal Bersatu di Brazzaville
-
Uji Materiil Dikabulkan MA, Aturan Soal PIK 2 dalam PSN Dinyatakan Batal
-
Sebut Warga Rempang Setuju Investor Masuk, Menteri Transmigrasi: Asal Mereka Tak Digusur
-
Tuntut Penyelesaian Konflik Tambang Muara Kate, Kantor Gubernur Kaltim Digeruduk
Tag
Terpopuler
- Selamat Datang Penyerang Keturunan Rp 15,6 Miliar untuk Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- 6 Mobil Bekas untuk Keluarga di Bawah Rp50 Juta: Kabin Luas, Cocok untuk Perjalanan Jauh
- Keanehan Naturalisasi Facundo Garces ke Malaysia, Keturunan Malaysia dari Mana?
- 4 Rekomendasi Mobil Bekas Merek Jepang di Bawah Rp100 Juta: Mesin Prima, Nyaman buat Keluarga
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Anti Hujan Terbaik 2025: Irit, Stylist, Gemas!
Pilihan
-
6 Skincare Aman untuk Anak Sekolahan, Harga Mulai Rp2 Ribuan Bikin Cantik Menawan
-
5 Rekomendasi Mobil Kabin Luas Muat 10 Orang, Cocok buat Liburan Keluarga Besar
-
Indonesia Jadi Tuan Rumah Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026, Apa Untungnya?
-
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
-
Daftar 5 Sepatu Olahraga Pilihan Dokter Tirta, Brand Lokal Kualitas Internasional
Terkini
-
Bocah di Batam Dianiaya Ayah Tiri, Ditemukan Terlantar di Rumah Sakit
-
ASN Tewas Usai Kencan 'Panas' dengan Wanita Muda di Hotel Karimun
-
9 WNA Dideportasi Imigrasi Batam gegara Salahgunakan Izin Tinggal
-
5 Alasan Mengapa Mobil Rental adalah Pilihan Cerdas untuk Liburan Anda
-
Inilah 5 Kebiasaan yang Membuat Tagihan Listrik Bisa Bengkak!