Scroll untuk membaca artikel
M Nurhadi
Minggu, 27 Juni 2021 | 12:30 WIB
Dapur Dua Belas Batam (Ist)

SuaraBatam.id - Sebelum Batam dapat perhatian dari pemerintah pusat Indonesia pada tahun 1970-an, keluarga besar Melayu menduduki Batam secara turun temurun yang salah satunya bermukim di Dapur Dua Belas.

Tidak hanya orang Melayu, daerah itu juga dipenuhi pendatang dari Cina yang tinggal di daerah pedalaman Batam. Mereka merupakan keturunan Tionghoa yang juga dikenal sebagai Cina Kebun pada waktu itu yang tinggal di Kampung Dapur Dua Belas atau Kampung Tanjung Atok Itam.

Sementara, sebagian lainnya merupakan keturunan Cina yang datang dari Singapura. Aktivitas sebagian para pendatang di Batam adalah membuka lahan dan perkebunan seperti karet, lada, dan sebagainya serta bekerja sama dengan orang Melayu setempat.

Tidak hanya dikenal sebagai kota tujuan perantau dengan iming-iming gaji besar, Batam ternyata memiliki sebuah kampung tua unik. Kampung tua yang sudah diduduki turun temurun oleh orang Melayu sejak era Kesultanan Riau Lingga itu bernama Dapur Dua Belas.

Baca Juga: Kritik TKA Cina ke Indonesia, Marwan Batubara: Ada yang Bukan Tenaga Ahli

Dapur Dua Belas atau disebut pula Dapur 12 merupakan nama salah satu daerah yang saat ini terletak di dekat kawasan industri galangan kapal di pesisir Batam Selatan.

Dapur Dua Belas Batam (Ist)

Berdasarkan catatan administrasi pemerintahan Kampung Tua Dapur 12 masuk dalam wilayah Kelurahan Sungai Pelunggut, Kecamatan Sagulung, Kota Batam.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat setempat, nama unik Kampung Tua Dapur 12 diberikan berdasarkan kesepakatan para tetua kampung demi mengenang sejarah yang pernah ada di tempat itu. 

Kala itu, ada banyak tungku dapur besar pembuatan arang berjumlah dua belas dapur. Masing-masing tungku dapur arang yang punya tinggi lebih dari empat meter itu sanggup memproduksi arang hingga 30 ton untuk sekali produksi. 

Berdasarkan penuturan tetua penduduk setempat, sebelum Indonesia merdeka, ada orang Cina Kebun yang membuka usaha dapur pembuatan arang di daerah tersebut. Sosok itu kemudian mengajak warga Melayu untuk kerja sama mencari kayu bakau sebagai bahan utama pembuatan arang.

Baca Juga: Pentagon Waspadai Jatuhnya Roket Cina di Wilayah Berpenghuni

Arang-arang produksi kampung itu kemudian didistribusikan oleh taukenya ke Singapura dan beberapa daerah lainnya di Batam.

Era penggunaan arang sebagai bahan bakar kebutuhan sehari-hari kala itu membuat produksi dan penjualannya berkembang pesat. Bahkan tauke arang dalam sehari bisa memasok arang dari Batam ke Singapura hingga berkali-kali.

Keberadaan dapur arang di dekat pesisir itu diketahui untuk memudahkan proses dari produksi hingga distribusi. Karena saat itu kebanyakan bahan utama kayu bakau sangat mudah didapatkan di sepanjang pesisir Batam.

Bahkan saat itu, ada beberapa daerah di muara sungai dan pesisir lain yang mengikuti tren pembuatan arang selain di Dapur 12. Beberapa di antaranya seperti di muara sungai Duriangkang, Sei Jodoh, Sungai Buluh, dan sebagainya.

Tren produksi arang di beberapa di Batam kala itu sempat membuat tak sedikit warga dari sebagiannya yang bekerja sebagai nelayan menjadi bergantung pada pekerjaan mencari kayu bakau dan membuat arang.

Namun sekitar tahun 1980-an, seiring perkembangan zaman dan Batam menjadi daerah yang dimekarkan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1970-an, industri pembuatan arang di Batam mulai kehilangan masa jaya.

Selain faktor kemajuan industri manufaktur yang masuk di Batam, bahan baku pembuatan arang yakni kayu bakau juga semakin sulit didapatkan

Hingga akhirnya hanya ada dua dapur yang sanggup bertahan digunakan untuk memproduksi arang dari yang tadinya dipakai semua di Kampung Tua Dapur 12.

Kini kejayaan sentra produksi arang di kampung itu hanya menyisakan cerita turun temurun dan dua bangunan dapur yang kondisinya sudah mulai lapuk dan tak begitu terawat.

Kontributor : Muhammad Subchan Abdillah

Load More