SuaraBatam.id - Kasus karamnya kapal pengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal, yang marak beberapa hari belakangan, seakan tak membuat jera para pelaku yang terlibat dalam jaringan perdagangan orang.
Kasus teranyar, Ditpolairud Polda Kepulauan Riau, mengamankan 22 calon PMI ilegal yang berada di lokasi penampungan di Pulau Pasai, Moro, Karimun, Minggu (16/1/2022) lalu.
Rencananya, para PMI ilegal ini akan diberangkatkan menuju Malaysia, melalui salah satu pelabuhan rakyat di Kabupaten Karimun.
Berbagai kisah kemudian muncul dari para calon PMI, yang kini berada di dalam pengawasan BP2MI Kepulauan Riau, untuk segera dikembalikan ke daerah asal masing-masing.
Baca Juga:Diimingi Gaji Rp6 Juta, 22 PMI Ilegal yang Akan Berangkat di Karimun Dipulangkan
Salah satu PMI, Sri Rahayu (52), wanita asal Malang, Jawa Timur mengaku sedih karena merasa tertipu oleh agen pencari kerja yang didapatnya di Facebook.
Agen perjalanan menjanjikan mendapatkan pekerjaan sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Malaysia.
"Komunikasi melalui Facebook, agen tersebut menjanjikan keberangkatan yang cepat, karena mereka adalah agen resmi bagi calon PMI. Makanya saya mau," jelas Sri yang ditemui di Ditpolairud Polda Kepri, Jumat (21/1/2022).
Tidak hanya itu, pihak agen yang memberikan uang sebesar Rp3 juta sebagai modal awal keberangkatan dari daerah asal, juga menjadi salah satu alasan kuat dirinya nekat meninggalkan keluarga.
"Karena iming-iming uang Rp 3 juta dan tuntutan kebutuhan hidup saya mau. Setiba di bandara kami berpindah pindah pulau sempat takut. Tahu-tahu ada penggerebegan, saya baru sadar kalau ini tidak resmi," ungkapnya.
Baca Juga:TNI AL Tangkap 17 Pekerja Migran Ilegal di Perairan Tanjung Balai
Saat ini, Sri sendiri mengaku kapok dan tidak mau lagi jika ada tawaran berangkat ke luar negeri setelah digrebek.
"Alhamdulilah kami diselamatkan bapak-bapak polisi, saya tidak mau lagi cukup sekali, kapok. Mungkin kalau resmi mau. Ini bahkan keluarga saya baru tahu kemarin tentang apa yang saya alami," ucapnya.
Berbeda dengan Sri, salah satu calon PMI asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, Firman (26) mengaku sejak awal sudah mengetahui bahwa proses keberangkatan menuju Malaysia, akan melalui jalur ilegal.
Namun pemberian modal awal dan tiket keberangkatan, serta akomodasi yang diberikan oleh agen pencari kerja, menjadi alasan kuat dirinya menerima pinangan untuk bekerja di luar negeri.
"Mau bagaimana lagi bang. Di kampung juga gak ada kerja, lagian aku dimodalin berangkat kesini," ungkapnya.
Kepala UPT BP2MI Wilayah Kepri, Mangiring H. Sinaga menegaskan saat ini akan kembali melakukan pembinaan terhadap para PMI yang telah diamankan oleh jajaran Kepolisian.
Mangiring menuturkan, saat ini keseluruhan PMI akan dibawa ke Tanjung Pinang terlebih dahulu, sebelum dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing.
"Mereka ini minim informasi saja, sebenarnya melalui jalur resmi juga tidak dikenakan biaya apapun. Asal seluruh dokumen telah dilengkapi," ujarnya melalui sambungan telepon.
Namun demikian, salah satu masalah lain adalah kondisi pandemi Covid-19, yang saat ini masih melanda.
Untuk itu, otoritas Pemerintah Negeri Malaysia, diakuinya belum membuka pintu masuk bagi PMI yang masuk dalam kategori resmi.
"Ini sebenarnya penyebab utama dalam dua tahun belakangan ini. Pintu resmi belum dibuka karena pandemi. Makanya banyak pekerja kita yang ambil pintu belakang masuk kesana," tegasnya.
Satu alasan lain yang membuat tenaga kerja Indonesia, tetap berminat untuk bekerja ke Malaysia, adalah tingginya upah yang berbeda dengan Indonesia.
Namun selain pandemi, alasan lain para pekerja menempuh pintu belakang, adalah aturan blokir yang diterapkan oleh Pemerintah Malaysia, bagi PMI ilegal yang sebelumnya sudah tertangkap saat bekerja di Malaysia.
"Godaan upah lebih besar inilah yang dimanfaatkan oleh agen-agen ilegal. Walau korban juga mengetahui, bahwa mereka juga sebelumnya sudah di blokir untuk masuk kesana," paparnya.
Berdasarkan beberapa hal diatas, Magiring menuturkan bahwa alasan tersebut yang membuat tenaga kerja Indonesia, sudah tidak mempercayai informasi dari Pemerintah.
Namun kelemahan pemerintah ini jugalah, yang akhirnya berhasil membuat para agen ilegal, tetap diminati oleh calon PMI.
"Masyarakat kita kini tidak percaya lagi informasi dari pemerintah tapi lebih percaya informasi dari calo yang menjanjikan secara cepat, hari ini dijanjikan, besok berangkat. Dan diiming-imingi dibuatkan paspor, tapi kenyataannya tidak ada paspor nya," ungkapnya.
Kontributor : Partahi Fernando W. Sirait