Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Minggu, 22 Agustus 2021 | 17:16 WIB
Ilustrasi kekeringan. (Shutterstock)

SuaraBatam.id - Gunungkidul selama ini identik sebagai salah satu kekeringan setiap musim kemarau. Berita droping air selalu menghiasi pemberitaan berbagai media setiap kemarau, terlebih kemarau panjang. Karena droping air menjadi satu-satunya solusi dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan air bersih setiap tahunnya.

Pemerintah Kabupaten selalu menganggarkan dana cukup besar untuk melakukan droping air. Karena hanya sebagian kecil dari 18 kapanewon (kecamatan) di Gunungkidul yang tidak membutuhkan droping air di musim kemarau.

Tahun ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyebut telah menganggarkan dana sebesar Rp  700 juta untuk keperluan droping air. Rata-rata setiap tahun pemerintah kabupaten selalu menganggarkan dana sebesar Rp 700 juta untuk droping air selama musim kemarau.

Di samping menganggarkan dana sebesar Rp 700 juta, pemerintah masih mengharapkan bantuan dari pihak swasta untuk melakukan droping air. Belum lagi secara pribadi masyarakat membeli air dari jasa penyedia air bersih swasta.

Baca Juga: Yatim Piatu, Rifky Anggota Paskibraka Gunungkidul yang Positif Covid-19 Isoman Sendirian

Namun tahun ini, ada satu kapanewon yang berhasil terbebas dari bencana kekeringan. Adalah Kapanewon Gedangsari, yang mampu mencukupi kebutuhan air bersih warganya. Bahkan kapanewon ini tak bisa mencairkan dana droping air karena tidak ada permintaan dari masyarakat.

"Kami tahun ini dapat anggaran droping air setidaknya untuk 500 tanki ukuran 5.000 liter. Dana itu tidak dapat dicairkan karena tidak ada permintaan warga,"tutur Panewu (Camat) Gedangsari, Iman S Martono, Minggu (22/8/2021).

Iman mengungkapkan selama ini Gedangsari mendapat predikat sebagai daerah yang dilanda kekeringan paling parah di Gunungkidul. Kontur wilayah Gedangsari yang sebagian besar pegunungan bahkan merupakan kapanewon tertinggi di Gunungkidul, semua Kalurahan  menjadi langganan kekeringan.

Iman lantas menceritakan bagaimana Gedangsari bisa terbebas dari bencana kekeringan tahun ini bahkan mereka tidak bisa mencairkan anggaran droping air sebanyak 500 tangki. Bahkan kini hanya segelintir titik yang belum terjangkau fasilitas air bersih.

Aksi bebas kekeringan tersebut dimulai tahun 2019 lalu di mana masyarakat Gedangsari menggagas adanya gerakan wakaf mata air. Gerakan tersebut sejatinya adalah memaksimalkan potensi mata air yang ada di kawasan Gedangsari. Karena sejatinya di bawah permukaan tanah Gedangsari banyak ditemukan sumber mata air. 

Baca Juga: Anggota Paskibraka Gunungkidul yang Terpapar Covid-19 Bertambah Jadi 23 Orang

"Kita berpikir bagaimana mengangkat sumber mata air yang ada di bawah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,"terangnya.

Perlahan-lahan, para tokoh masyarakat lantas berusaha mencari donatur ataupun siapa saja yang bersedia mendonasikan dananya untuk membangun sumur bor. Mereka juga menggandeng berbagai kalangan seperti perbankan ataupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membangun sumur bor dan instalasi air bersih ke rumah-rumah warga.

Satu persatu sumur bor dibangun di daerah-daerah yang sangat membutuhkan air bersih. Tak hanya BUMN, bahkan masyarakat sendiri juga mulai membangun sumur bor sekaligus instalasinya. Alat untuk mencari sumber mata airpun diciptakan dengan keakuratan tinggi. Sehingga upaya pengeboran tanahpun tidak sia-sia.

"Sini hitungannya kalau mengebor itu ada yang permeter namun ada juga yang kontrak sampai air keluar,"tambahnya.

Perlahan-lahan persoalan air bersihpun mulai teratasi. Kini di Kapanewon Gedangsari setidaknya ada 155 buah sumur bor yang tersebar di hampir semua kalurahan. Dan hampir semua masyarakat kini sudah tidak perlu lagi membeli air bersih ataupun berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih.

Iman menyebut, hanya tinggal 10 persen wilayah Gedangsari yang belum terjangkau sumur bor. Namun pihaknya menargetkan tahun ini sudah semua wilayah Gedangsari bisa terjangkau sumur bor. Tak perlu lagi mengharapkan bantuan air bersih dari pemerintah ataupun swasta.

Iman mengatakan Gedangsari memiliki 67 padukuhan dari 7 kalurahan dengan 7.024 Kepala Keluarga dan 22.760 jiwa. Dari jumlah tersebut, 95% warga mengalami kekeringan. Selama ini pihaknya mengumpulkan stakeholder untuk berembuk mencari solusi. 

"Saat itu kami mulai mengampanyekan Gerakan ini dengan melakukan pendekatan kepada BUMD, BUMN, lembaga swasta, maupun perseorangan untuk melakukan wakaf mata air,"ujar dia.

Dengan kinerja yang cukup solid hingga akhirnya banyak yang melakukan wakaf untuk meretaskan permasalahan air bersih. Sekitar 2,5 tahun program ini berjalan, sumur bor gali maupun pompa air terus dibangun sehingga tinggal sekitar 10% warga Gedangsari mengalami bencana kekeringan. 

Kepala Pelaksana BPBD Gunungkidul, Eddy Basuki mengatakan pada kemarau kali ini setidaknya ada 99.559 jiwa terdampak dari adanya kekeringan. Mereka berasal dari 10 Kapanewon dan semuanya telah mengajukan bantuan air bersih kepada BPBD Gunungkidul. 

“Pendistribusian masih bisa bertambah, demikian dengan wilayah yang terdampak kekeringan,"ujar dia.

Dia mengatakan  jumlah tersebut bisa bertambah mengingat diprediksi hanya 2 Kapanewon di Gunungkidul yang akan terbebas dari krisis air bersih. Sementara 16 Kapanewon lainnya diprediksi akan terdampak.

Berdasarkan data dari BPBD atas penyaluran air bersih ke setiap wilayah Kapanewon Rongkop mendapatkan bantuan terbanyak kedua dengan jumlah 288 tangki air bersih. Kemudian Kapanewon Tepus sebanyak 144 tangki, Kapanewon Tanjungsari sejumlah 132 tangki.

Sementara kapanewon Panggang 108 tangki, Kapanewon Semin 48 tangki, Kapanewon Saptosari 44 tangki, Kapanewon Paliyan 32 tangki, dan Kapanewon Wonosari sebanyak 4 tangki. Terkait dengan penyediaan penyaluran tangki air bersih juga dibantu oleh anggaran yang telah dimiliki tiap Kapanewon dan Kalurahan. 

"Ada juga bantuan dari pihak-pihak swasta yang turut memberikan pendistribusian air bersih,"terangnya.

Kontributor : Julianto

Load More