Scroll untuk membaca artikel
M Nurhadi
Sabtu, 26 Desember 2020 | 11:56 WIB
Warga menyaksikan pameran foto Silaturahmi Indonesia Menangis di Museum Tsunami, Banda Aceh, Aceh, Desember 2016. [Antara/Irwansyah Putra]

SuaraBatam.id - "Gulungan air laut yang menjulang tinggi dan gelap" adalah satu dari sekian banyak gambaran mengerikan yang diungkapkan oleh para penyintas tsunami Aceh. Bagaimana sebenarnya gambaran itu bila diwujudkan bentuknya?

Peristiwa ini bisa kita ingat kembali ketika mengunjungi Museum Tsunami Aceh, dengan menyusuri lorong sempit dan gelap, dengan dinding air yang sesekali memercikkan air ke kepala dan tubuh. Lorong tersebut adalah pintu utama menuju ke dalam Museum Tsunami Aceh yang terletak di Jalan Iskandar Muda, Kota Banda Aceh.

Mulai masuk, secara sanar anda dapat mendengar rekaman suara perempuan menyanyikan lagu dalam bahasa Aceh, mengiringi langkah para pengunjung di jalan menurun yang landai.

Gelap, hening, suara dan percikan air akan membawa pengunjung yang baru masuk dari ruang terbuka menuju bagian dalam museum, memasuki lorong kenangan.

Baca Juga: Tsunami Aceh 2004 dan Banten 2018 terjadi Pada Bulan Desember

Beberapa penyintas atau keluarga korban masih "enggan" memasuki museum tersebut, lantaran kenangan pedih yang mereka alami.

Namun, seorang ibu yang kehilangan dua anak remajanya dalam bencana tersebut, akhirnya mulai memberanikan diri untuk mencoba mengunjungi museum tsunami itu.

Jalan landai di lorong itu berakhir pada ruang yang luas dengan atap tinggi dan jajaran podium-podium yang menampilkan rangkaian foto Banda Aceh sesaat setelah hempasan air laut setinggi 30-an meter menyapu tepi kota hingga ke pedalaman.

Peristiwa yang juga dikenal dengan "Christmas Tsunami", Tsunami Aceh, Tsunami Indonesia dan lain sebagainya itu terjadi pada 26 Desember 2004, sehari setelah Natal, dikenang sebagai tsunami terdahsyat abad ini, merenggut 230.000 nyawa di 11 negara, sebagian besar di antaranya adalah warga Aceh, sebagian Sumatera Utara dan Nias.

Tak jauh dari tiang-tiang penyangga foto terlihat beberapa pengunjung, anak sekolah dan rombongan keluarga sedang menyaksikan rangkaian foto yang ditampilkan dalam gerak otomatis, mengganti sejumlah gambar.

Baca Juga: Tsunami Besar Sering Terjadi di Akhir Tahun dan Awal Tahun

Foto-foto Banda Aceh yang luluh lantak, para penyintas yang tengah menyelamatkan diri, kapal-kapal menyangkut di atap rumah menjadi tontonan yang bisa memberi gambaran pada pengunjung.

Dalam ruangan berukuran besar itu, kembali terdapat jalan sempit menanjak yang di bagian kirinya terdapat pintu masuk ke ruang berbentuk kerucut, "sumur doa".

Pada dinding ruang tersebut tertera ribuan nama korban jiwa dan di puncak kerucut terdapat penutup tembus cahaya dengan tulisan huruf Arab "Allah".

"ini melambangkan bahwa para korban yang tidak dapat selamat dari tsunami kini sudah kembali kepada Allah," ujar pemandu museum.

Pemandangan pengunjung yang menengadah tangannya, sembari berdoa dengan lirih jadi pemandangan biasa di spot ini.

Perempuan yang kehilangan putra-putrinya itu terlihat tercenung dan matanya berkaca-kaca saat ia melangkah keluar dari ruang tersebut.

Ridwan Kamil, yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, adalah arsitek yang merancang museum itu setelah memenangkan lomba yang turut diikuti arsitek seluruh dunia.

Secara klise, bangunan itu mirip dengan sosok sebuah perahu, alat transportasi yang banyak dikaitkan dengan bencana tsunami, mengingat banyak kapal yang terdampar jauh ke pedalaman dan beberapa di antaranya bagikan "perahu Nabi Nuh" menyelamatkan para penumpangnya.

Namun, konon, bangunan tersebut terilham dari bangunan khas Aceh.

Keluar dari ruang kerucut, jalan menanjak berlanjut, mengitari kerucut itu, sebagai lambang bagi para penyintas yang masih harus berjuang untuk menyelamatkan diri, keluar dari pusaran air.

Di ujungnya terpampang ruang yang terang dan luas, atap gantung di langit-langit tembus pandang, berbentuk menyerupai kapal, tempat bendera-bendera dari sejumlah negara tergantung dengan tulisan "damai" dalam berbagai bahasa.

Sisi bawah, terdapat "jembatan harapan" melambangkan harapan hidup bagi para penyintas dan membawa pengunjung berjalan menuju lantai berikutnya dari bangunan berlantai empat di museum tersebut.

Usai melintasi jembatan, pengunjung akan diarahkan menuju ruang pamer berisi gambar dan diorama, juga ada ruang simulasi gempa dan tempat pengunjung dapat mempelajari sains terkait gempa dan tsunami.

"Namun saat ini tidak bisa dioperasikan karena alatnya rusak," kata petugas museum.

Di tempat itu biasanya pengunjung akan bisa merasakan "getaran gempa", mempelajari gempa dan tsunami dan berbagai peralatan perekam gempa serta sistem kerjanya.

Pada akhir perjalanan, terdapat ruang teater semi terbuka dengan tribun dan panggung tanpa dinding dan di seberangnya dikelilingi kolam ikan.

Tempat tersebut biasa dimanfaatkan oleh pengunjung untuk merenung kembali bencana alam yang mengubah wajah politik, sosial dan ekonomi Aceh menjadi provinsi yang lebih terbuka dan damai.

Bangunan museum bila dilihat dari atas, seperti yang terlihat pada maket, merupakan gambaran gelombang laut dan sekaligus sebagai dataran tinggi untuk penyelamatan.

"Sampai dengan 10 tahun lalu kata tsunami tidak saya kenal, demikian pula kebanyakan orang Aceh lainnya. Kini kata tsunami mempunyai makna bagi kami," kata Dr. Edi Darmawan, penyintas yang kehilangan kedua orang tuanya saat tsunami menyapu kampung halamannya.

Kehadiran Museum Tsunami Aceh penting untuk mengenang dan juga menjadi sarana edukasi.

Meskipun ada loket tempat pembelian tiket, tidak ada petugas penjaganya dan pengunjung dapat masuk bebas tanpa membayar. Para petugas akan memandu dengan sukarela.

"Akhirnya saya bisa mengunjungi museum ini, setelah 10 tahun bencana itu berlalu," bisik ibu yang tidak bersedia disebut namanya.

Banyak kenangan pedih, banyak orang kehilangan anggota keluarga seperti perempuan itu. Seperti yang kami kutip dari Antara, sosok itu nampak tabah meski sesekali ia mencoba menyeka air matanya.

Monumen hidup bertebaran di Banda Aceh dan sekitarnya sehingga kota di belahan barat Indonesia itu pun kini menjadi daerah kunjungan wisata sejarah, terutama wisatawan domestik dan dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand juga India.

Bus-bus pariwisata hilir mudik dari satu lokasi ke lokasi lain, seperti museum ini, lokasi kapal PLN Apung terdampar di Punge Blang Cut, Masjid Raya, Kapal "Nuh" di Gampong Lampulo dan banyak lainnya.

Bangunan itu tidak hanya menjadi pengingat peristiwa kelam tersebut. Namun juga jadi tempat belajar, sekaligus media penyemangat untuk para penyintas, bahwa mereka harus terus berjalan demi saudara yang telah tiada. 

Load More