SuaraBatam.id - Masyarakat Myanmar saat ini berada dijurang kemiskinan dan kelaparan. Diperparah saat wabah Covid-19.
Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi Myanmar akan menyusut sebesar 18% tahun fiskal ini dan tingkat kemiskinan kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2022.
Harga beras telah meningkat lebih dari 18% dan minyak nabati telah meningkat dua kali lipat dalam 12 bulan terakhir, menurut World Food Program.
Dilaporkan wartawan BBC Ko Ko Aung, kondisi buruk itu juga merambah ke sistem perbankan.
Baca Juga:Remaja Disodomi Lompat dari Ruko di Batam, Kerap Diancam Pakai Silet
"Saya ikut antrean untuk menerima bubur dari kelompok penyantun. Saya menunggu lebih dari setengah jam tapi habis sebelum giliran saya," kata Ma Wai seraya berlinang air mata.
"Saya pulang dengan tangan kosong. Saya merasa sangat iba dengan putri saya yang berusia empat tahun."
Ma Wai, 42 tahun, dari Monywa di wilayah tengah Myanmar, dulu bekerja sebagai tukang bersih-bersih dan pembantu rumah tangga sebuah keluarga kaya.
Tetapi ketika kasus Covid meledak pada Juli lalu, majikannya memintanya agar tidak bekerja karena pemerintah memerintahkan semua orang tinggal di rumah.
Suaminya, seorang pelukis, juga menganggur lantaran pembatasan Covid.
Baca Juga:Tak Tahan Kerap Disodomi, Remaja Nekat Lompat dari Lantai 3 Ruko di Batam
"Tidak lama berselang suami saya mencoba pergi bekerja. Saya menanak nasi buat makan siangnya, dari beras yang kami simpan untuk berjaga-jaga di masa-masa sulit," ujarnya.
"Namun serombongan tentara menghentikannya dan menyuruhnya pulang, jadi dia bahkan tak bisa bekerja."
Sehari makan sekali
Ma Wai dan suaminya sudah menganggur selama tujuh bulan dan saat ini mengandalkan bantuan makanan untuk menghidupi empat anaknya dan ibunya yang tinggal bersama mereka.
"Kadang-kadang, kami hanya makan sekali sehari," katanya. "Kami belum pernah mengalami kesulitan seperti sekarang."
Pemogokan dan boikot
Kota asal Ma Wai, yaitu Monywa, merupakan basis utama perlawanan terhadap kekuasaan militer. Banyak orang dari komunitasnya bergabung dalam unjuk rasa massal menentang kudeta militer pada 1 Februari.
"Ketika itu, tentara melepaskan tembakan ke arah lokasi lingkungan kami. Beberapa tetangga saya tewas dan sebagian lagi terluka diterjang peluru," katanya, mengenang.
Semenjak kudeta, puluhan ribu pegawai negeri -- mulai guru dan pekerja kereta api hingga dokter dan perawat -- menolak bekerja untuk rezim.
Menurut Pemerintah Persatuan Nasional, yang dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan, lebih dari 410.000 pegawai pemerintah masih melakukan pemogokan.
Gerakan ini juga menyerukan aksi boikot terhadap segala sesuatu yang terkait rezim militer, mulai perbankan hingga kegiatan lotre yang disponsori negara; mulai bir dan rokok hingga telekomunikasi.
Tujuan mereka adalah menjauhkan rezim militer dari sumber pendapatan utama mereka.
Masyarakat juga menolak membayar tagihan listrik, yang menurut mereka akan masuk ke kantong militer.
Sanksi seperti ini dan sanksi publik lainnya terhadap bisnis yang dijalankan militer memiliki dampak luar biasa.
Jenderal Soe Win, orang nomor dua di tampuk kekuasaan rezim militer, mengakui dalam sidang membahas anggaran bulan Agustus bahwa pemerintah menerima lebih sedikit pemasukan.
Perlawanan di tengah kesulitan
Di kantor listrik negara di kota Khayan, sekitar 60 km arah timur Yangon, satu-satunya karyawan dari 43 orang staf, yang terus datang, adalah seorang eks kapten militer.
Sisanya melakukan mogok kerja. Lima belas orang dari mereka masih bertahan untuk melawan.
Tindakan kolektif mereka mengganggu kinerja rezim militer, namun ini menimbulkan biaya hidup yang tinggi.
"Saya saat ini tidak memiliki penghasilan, tetapi saya dan rekan-rekan bertekad tidak kembali bekerja untuk kepentingan militer," kata Khin Kyi Thar.
"Gaji saya 150.000 Kyat (Rp1,1 juta) dan saya sudah kehilangan uang sebesar itu sejak April.
"Ada kelompok pendukung di kota kami yang membantu saya dengan uang secukupya, tapi kemudian pemimpinnya harus kabur untuk menyelamatkan diri," katanya.
Membeli lotre 'alternatif' dan boikot lotre pemerintah
Dalam upaya meringankan penderitaan rakyat, Pemerintah Persatuan Nasional meluncurkan lotre online pada Agustus untuk mengumpulkan uang bagi pegawai negeri sipil yang mogok.
Kelompok tersebut mengatakan 70% dari keuntungan akan langsung diberikan kepada orang-orang yang terlibat pemogokan, sementara 30% akan ditawarkan sebagai hadiah uang.
Masyarakat berhenti membeli tiket lotre yang dikelola negara, dan pada jam pertama penjualan 250.000 tiket seharga Kyat 2.000 (US$1,1) sudah terjual habis.
Menanggapi aksi ini, rezim militer telah melarang lotre yang dikelola Pemerintah Persatuan Nasional.
Mereka juga membekukan sejumlah rekening bank karena dicurigai bahwa pemiliknya membeli tiket lotre tersebut.
Perbankan Myanmar 'di ambang kehancuran'
Sistem perbankan Myanmar berada di ambang kehancuran. Setelah kudeta, masyarakat bergegas menarik tabungannya.
Sebagai tanggapan, bank kemudian membatasi berapa jumlah uang yang dapat diambil.
Sejak Maret, bank sentral Myanmar membatasi penarikan tunai hingga 2 juta Kyat (Rp2,3 juta) seminggu dan 20 juta Kyat (Rp23,4 juta) bagi sebagian besar perusahaan.
Ma Khine, seperti kebanyakan warga Yangon, bangun pagi-pagi untuk menunggu antrian panjang di mesin ATM dengan harapan bisa menarik sejumlah uang.
Bank KBZ di Myanmar Plaza tempat tujuannya, buka pukul enam pagi dan mengeluarkan token untuk sejumlah pelanggan terbatas.
Namun meskipun Anda salah satu yang beruntung mendapatkan token, tidak ada jaminan bahwa masih akan ada uang di mesin saat giliran Anda tiba.
"Hanya tiga dari sepuluh mesin yang bekerja pada satu waktu, dan bank tidak akan menambahnya lagi," papar Ma Khine.
"Jika Anda tidak bisa menunggu, maka Anda harus membayar sogokan di pasar gelap," tambahnya.
Ketika dia melakukan hal itu pada bulan lalu dia harus membayar komisi 12% demi menarik uangnya sendiri.
Tidak ada aturan yang jelas
Bank-bank swasta membatasi jumlah uang yang dapat diambil.
Bank CB di wilayah Delta Irrawaddy, misalnya, mengizinkan para pelanggan untuk menarik hanya 500 ribu Kyat (Rp586.000) dalam dua pekan.
"Bisnis kecil-kecilan sangat terpukul karena batasan ini," jelas Tun Tun, manajer cabang bank swasta yang dia namanya tidak disebutkan.
"Mereka tidak memiliki daftar perusahaan sehingga mereka tidak berhak menarik jumlah yang lebih besar yang sepuluh kali lebih banyak untuk individu," katanya kepada BBC.
"Sangat sedikit orang yang menabung sekarang. Anda dapat menghitung jumlah penabung dalam seminggu dengan jari di satu tangan. Di sisi lain, ribuan pemegang rekening menarik uang setiap hari."
Pengiriman uang juga tergantung pada ketersediaan uang tunai di kantor cabang penerima.
"Kami harus menelepon cabang lain untuk memeriksa apakah mereka memiliki cukup uang untuk membayar transfer", kata Tun Tun.
Ekonomi terjun bebas
Mata uang Kyat Myanmar telah melemah terhadap dolar AS lebih dari 20% sejak kudeta pada Februari.
Kehadiran masyarakat Yangon dikonter pertukaran uang asing dilaporkan melemah lebih dari 40%.
Saat ini masyarakat lebih suka menyimpan uang mereka dalam dolar atau membeli emas. Harga emas mencatat rekor baru setiap bulan sejak Februari.
Investasi pisang
Jenderal Min Aung Hlaing, telah berulang kali berbicara tentang niatnya untuk meningkatkan ekonomi.
Salah satu ide besarnya adalah mendorong masyarakat menanam pisang.
Dalam sidang dewan militer pada Juni, sang jenderal mendorong warganya agar menanam pisang Bluggoe perak dengan tujuan diekspor.
Pemimpin militer sebelumnya, Jenderal Than Shwe, juga mencoba proyek serupa supaya warga menanam jarak untuk menghasilkan minyak jarak, namun rencana itu berakhir dengan kegagalan.
Dibandingkan itu, menggenjot perkebunan pisang terdengar lebih realistis. Investor China telah berinvestasi di perkebunan pisang di Negara Bagian Kachin selama bertahun-tahun.
Namun, tidak mungkin memberi makan jutaan orang yang kesulitan untuk mendapatkan jatah makan berikutnya.
Sejak Mei, program Pangan Dunia (World Food Program) telah menyediakan makanan bagi 800.000 orang yang hidup rentan di pinggiran Yangon.
Namun badan tersebut mengatakan membutuhkan setidaknya US$86 juta (Rp1,2 triliun lebih) untuk memberikan bantuan makanan selama enam bulan kepada 3,3 juta orang yang sekarang membutuhkannya.