Hak Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dan Pandemi Covid-19 di Batam

Stigma atau nilai buruk yang masih melekat sehingga menghambat para ABK ini, dalam bergaul dengan teman sebaya.

Dinar Surya Oktarini
Selasa, 31 Agustus 2021 | 11:55 WIB
Hak Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dan Pandemi Covid-19 di Batam
Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. (Suara.com/fernando)

SuaraBatam.id - Mendengar istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), bagi beberapa orang saat ini tentunya masih menjadi suatu Stigma negatif.

Stigma atau nilai buruk yang masih melekat ini kemudian menghambat para ABK ini, dalam bergaul dengan teman sebaya, hingga menyulitkan mereka dalam mendapatkan hak mereka sebagai anak, terutama hak untuk mendapat pendidikan formal.

"Apakah anak berkebutuhan khusus tidak bisa bersekolah di sekolah reguler. Tentu saja bisa, mereka tidak berbeda dengan siswa reguler, yang penting bagaimana para pendidik dapat melakukan pembimbingan khusus di sekolah bagi mereka. Dan lingkungan yang menerima mereka apa adanya," tegas Yul Everi selaku Ketua Yayasan SLB Putrakami yang berada di Perumahan Anggrek Sari, Batam Center saat dihubungi, Selasa (31/8/2021).

Berangkat dari stigma buruk terhadap ABK inilah, Yul Everi mendirikan yayasan SLB Putrakami medio tahun 2001-2002, yang berawal dari tempat terapi bagi anak berkebutuhan khusus di sekitar tempat tinggalnya.

Baca Juga:Kabar Duka, Wahendra Tewas Akibat Sakit Gigi saat Melaut

Selain sebagai pusat terapi, awal terbentuknya SLB Putrakami hanya memanfaatkan dua ruangan sebagai penopang kerja dengan beragam aktifitas.

"Pada tahun itu, istilah berkebutuhan khusus masih jamak digunakan. Lebih banyak orang memberikan cap cacat kepada anak-anak kita," paparnya.

Awal berdiri, ibu Yul panggilan nya menuturkan bahwa selain terapi, salah satu fokus lain adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Khusus, yang nantinya dapat menjadi bekal bagi para orangtua untuk mendaftarkan anaknya di sekolah reguler.

Namun, dalam perjalanannya, anak-anak itu justru mendapat kesulitan bahkan penolakan saat ingin mendaftar ke sekolah reguler.

Kemudian tercetuslah keinginan mengembangkan pusat terapi itu menjadi sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Baca Juga:Semangat Vaksinasi Merdeka, Dijemput Odong-odong dan Dapat Undian Sepeda Motor

Persoalan lain, beberapa orangtua dari ABK, juga banyak yang tidak siap dengan pandangan negatif orang lain terhadap anaknya, sehingga merasa tidak percaya diri saat akan mendaftarkan anak nya ke sekolah reguler, setelah mendapat terapi dan pendidikan PAUD di SLB Putrakami.

“Lalu pada tahun 2004 sampai tahun 2005 jumlah murid mencapai 25 orang, dan terpaksa harus dibagi ke beberapa kelas. Karena tidak efektif jika jumlah murid sebanyak itu digabung dalam satu-dua kelas,” katanya.

Dua tahun berselang, Yul Everi lalu kemudian membuka sekolah jenjang dasar (SD), kemudian di tahun 2009 bertambah pula jenjang menengah pertama (SMP).

Meski tanpa kendala, dalam pengurusan izin operasional sekolah itu, pihaknya baru mendapat kesulitan, saat peralihan sistem Pemerintahan Provinsi Riau ke Provinsi Kepulauan Riau, dan proses perizinan sekolah memakan waktu lebih lama.

Faktor lain yang semakin mempersulit ABK, untuk dapat segera mengenyam pendidikan lanjutan adalah minim informasi yang berkaitan dengan ABK.

Sehingga menurutnya, hal itu yang kemudian memengaruhi kebijakan tentang sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus atau SLB.

“Itu kan dulu waktu pemerintahannya belum pisah, nah sekarang kan sudah provinsi baru. Walaupun kemarin memang untuk yang jenjang SMP pengurusannya di kota, terus yang jenjang SMA ada di provinsi. Agak repot jadinya kalau mau ada urusan yang berkaitan dengan sekolah ini. Tapi sekarang untuk SLB, pengurusannya sudah sepenuhnya ada di provinsi jadi tidak ada kendala ya selain jarak,” lanjutnya.

Namun berbicara mengenai apa yang telah dilalui yayasan ini, kini pesatnya perkembangan sistem informasi dan tehnologi, melalui setiap platform media sosial perlahan menghapus pandangan tersebut.

Paling tidak, itu yang diyakini Hefrina, Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Putrakami Batam, yang saat ini bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan para anak berkebutuhan khusus terutama di masa pandemi Covid-19 saat ini.

Perkembangan teknologi membuat sumber informasi terkait ABK tersedia banyak.

Mulai dari penanganan, hingga kisah-kisah orangtua yang menangani anak mereka yang berkebutuhan khusus.

“Selain itu, kami juga guru-guru di sini sering dan rutin melakukan parenting ke sekolah-sekolah juga ke beberapa rumah. Hal itu ternyata membantu sekali apalagi untuk masyarakat atau orangtua yang kami ajak untuk bersama-sama ramah kepada anak-anak ABK,” terangnya saat ditemui di SLB Putrakami, Selasa (31/8/2021).

Baik orangtua dan anak sendiri, diakuinya tentunya tidak ingin berada dalam kondisi seperti itu, untuk itu saat ini pentingnya pendidikan dan bimbingan menjadi faktor penting yang tidak hanya membekali anak, namun juga bagi kedua orangtuanya.

“Karena kalau ditanya, anak-anak ABK juga tidak ingin terlahir dengan kondisi seperti itu. Tapi kenapa mereka hadir di tengah-tengah kita? Agar kita bisa menerima mereka, juga agar kita bisa memanusiakan manusia,” tegasnya.

Di awal tahun 2020, virus Covid-19 dideteksi ada di Indonesia, banyak kegiatan di luar rumah maupun ruangan kemudian terpaksa ditiadakan.

Tidak terkecuali proses belajar-mengajar atau pendidikan, dan seluruh sekolah juga kampus dituntut memberikan bahan ajar secara daring, terutama di Batam, Kepulauan Riau yang masih berlangsung hingga saat ini.

Namun sistem pembelajaran seperti ini, ternyata sulit dilakukan oleh ABK, yang memiliki masing-masing masalah dalam beradaptasi dengan kebiasaan baru.

“Akhirnya kami minta izin ke Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau untuk menyelenggarakan belajar tatap muka. Tentu dengan penjelasan serta pertimbangan bahwa siswa di sini butuh penanganan khusus, dan hal itu bakal sulit dilaksanakan jika sepenuhnya dilakukan secara daring,” katanya.

Selama pandemi ini, SLB Putrakami Batam terpaksa harus mengurangi jumlah murid di tiap kelas.

Lantaran sudah mendapat izin dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau, maka proses belajar-mengajar pun musti disertai dengan protokol kesehatan.

Salah satu bentuk penerapan prokes, dimana normalnya setiap ruang kelas di SLB Putrakami Batam diisi 10 siswa atau kurang, saat ini, tiap kelas dibatasi hanya diisi oleh tiga siswa saja.

“Jadi tiap hari siswanya juga bergantian ke sekolah. Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak sama dengan anak-anak reguler atau biasa lainnya. Mereka butuh pendampingan yang optimal. Kalau anak-anak reguler, disuruh menulis ya mereka akan menulis, sementara ABK ini butuh bantuan seperti dipegang tangannya kalau disuruh menulis,” katanya.

Dia menuturkan, di awal rencana belajar secara daring yang dianjurkan pemerintah, beberapa orangtua bahkan ingin berhenti menyekolahkan anaknya di sana.

Belum memiliki pengetahuan khusus tentang penanganan ABK, serta disibukkan dengan kegiatan lain, menjadi salah satu faktor dari keputusan tersebut.

Hefrina bersama guru lainnya lalu berpikir bagaimana cara agar anak-anak itu mendapatkan haknya untuk sekolah, dan diputuskan mempersingkat jam belajar.

“Mulanya, dalam aturan dari Dinas Pendidikan, proses belajar tatap muka hanya tiga kali dalam seminggu. Tapi karena permintaan dari orangtua banyak, apalagi dari kelas VI yang bakal ujian kelulusan, maka dibuatlah jadwalnya menjadi Senin-Rabu-Jumat dan Selasa-Kamis-Sabtu,”

Menurut Hefrina, pertimbangan lain dibukanya belajar tatap muka adalah karena murid yang duduk di kelas bawah banyak yang memiliki kendala seperti tidak dapat bicara dan gerak motorik yang terbatas.

Dengan keterbatasan itu, pihaknya khawatir murid-murid di SLB Putrakami Batam tidak mendapatkan dan mengerti materi belajar mereka secara maksimal.

Menurutnya tiap anak memiliki beberapa indikasi pada usia dini sebelum akhirnya ditetapkan sebagai ABK.

Dalam deteksi dini, Hefrina biasanya menjelaskan seorang anak bakal cenderung ke sifat atau arah tertentu, baik fisik delay, hiperaktif, disabilitas intelektual, down syndrom, atau slow learner.

Hefrina juga menegaskan, tiap ABK tetap memiliki hak untuk bersekolah di sekolah reguler tanpa harus belajar di SLB.

Namun, dengan catatan orangtua harus terbuka dengan pihak sekolah reguler yang dituju.

Sehingga pihak sekolah itu dapat menghadirkan guru pendamping yang dapat menangani anak itu.

“Jadi ABK juga punya hak dan kesempatan yang sama dengan anak-anak lain pada umumnya. Kita sebagai masyarakat di kehidupan sosial pun tidak boleh memandang mereka sebagai hal yang aneh dan berbeda,” kata dia.

Kontributor : Partahi Fernando W. Sirait

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini