Cara Kerja Pinjol Dapatkan Nomor Calon Nasabah Hingga Jual Beli Data Penduduk

Jual beli data pribadi yang ditawarkan di media sosial rata-rata dihargai mulai dari Rp15 ribu sampai Rp25 ribu, tergantung pada kelengkapan identitas dan keterbaruan data.

M Nurhadi
Selasa, 29 Juni 2021 | 13:04 WIB
Cara Kerja Pinjol Dapatkan Nomor Calon Nasabah Hingga Jual Beli Data Penduduk
ILUSTRASI-Guru honorer di Semarang tertipu pinjol hingga ratusan juta. [Ist]

SuaraBatam.id - Cara menanggapi pesan singkat lewat ponsel yang menawarkan pinjaman online (Pinjol) melalui SMS dan WA cukup mudah. Anda lebih baik tidak menanggapinya.

Anda disarankan untuk mengabaikan atau langsung hapus pesan tersebut lantaran saat ini tengah marak jual beli selfie (swafoto) kartu tanda penduduk (KTP) secara tidak sah di platform media sosial (medsos).

Untuk diketahui, ada sembilan dari 27 data pribadi yang tertera dalam KTP, diantaranya NIK, nama lengkap, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, golongan darah, alamat, agama, status perkawinan, dan jenis pekerjaan.

Penawaran dari sejumlah pinjaman online (pinjol) ilegal melalui SMS merupakan salah satu cara lintah darat menawarkan tipuan kepada calon debitur.

Baca Juga:Pilu! Warga Tulungagung Bunuh Diri Akibat Depresi Tagihan Pinjol

Bagi penerima pesan yang terdesak dengan kebutuhan, kemungkinan langsung merespons dengan mengikuti perintah yang terdapat dalam SMS. Di sinilah mereka mulai terjerat pinjol ilegal yang merupakan metamorfosis lintah darat.

Viral foto selfie KTP dijual bebas di media sosial. (Twitter/@recehvasi)
Viral foto selfie KTP dijual bebas di media sosial. (Twitter/@recehvasi)

Pinjol ilegal ini tampaknya punya cara lain ketika menjebak mangsanya dengan memanfaatkan foto KTP selfie. Korban menerima transfer uang dengan jumlah tertentu, padahal pemilik rekening tidak merasa pinjam.

Selang beberapa waktu kemudian, sejumlah penagih utang (debt collector) mendatangi rumahnya dengan menyodorkan tagihan utang dengan bunga tinggi. Kasus ini pun sempat viral di medsos.

Belakangan ini informasi kumpulan swafoto orang-orang yang sedang memegang foto KTP beredar di dunia maya, salah satunya platform Twitter.

Selama ini, swafoto sambil memegang KTP merupakan salah satu metode verifikasi yang sering dilakukan ketika mendaftar layanan yang berhubungan dengan finansial. Foto-foto tersebut diduga diperjualbelikan di dunia maya.

Baca Juga:Paket Belanja Online Dibanting, Emak-emak Kecewa Pesan Kipas Angin yang Datang Sabun Colek

Masyarakat pun resah terkait dengan kasus selfie KTP ini karena dibarengi atau diikuti dengan tindak kejahatan transfer tanpa sepengetahuan korban ke rekeningnya oleh pinjol ilegal.

Penelusuran Tim Ahli

Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC di bawah pimpinan Doktor Pratama Persadha lantas melakukan tracing (menelusuri) asal mula jual beli foto KTP selfie di platform medsos.

Terungkap jual beli data tersebut bermula dari vendor yang membantu verifikasi dari berbagai aplikasi. Bahkan, tidak hanya aplikasi populer semacam dompet digital, tetapi aplikasi seperti PLN mobile juga membutuhkan foto KTP selfie untuk verifikasi. Untuk membantu verifikasi ini, ternyata diperbantukan pihak ketiga sebagai vendor.

Tidak hanya itu, ada yang berasal dari kebocoran pinjol ilegal juga, dan jumlahnya relatif cukup banyak. Hal ini terjadi, menurut pakar keamanan siber Pratama Persadha, karena mereka tidak concern terhadap security sehingga para pelaku kejahatan siber mudah sekali meretasnya.

Dalam kasus yang pertama kali viral adalah saat pegawai vendor yang melakukan verifikasi akun OVO, ternyata langsung melakukan kontak via WhatsApp kepada orang yang datanya sedang dia verifikasi. Celah inilah yang juga dimanfaatkan dengan menjual foto KTP selfie ke pinjol ilegal.

Sebenarnya, ada dua hal yang dilakukan, yakni pertama pinjol transfer ke rekening pemilik KTP asli dengan harapan nantinya bisa menagih dengan bunga tinggi.

Kedua, pelaku yang memiliki foto KTP selfie ini bisa saja membuat rekening palsu, kemudian melakukan apply ke pinjol dan transfer ke rekening yang mereka buat. Kedua hal ini sama-sama sangat merugikan masyarakat.

Seharusnya, menurut Pratama, Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa menjadi solusi. Namun, sayangnya rencana menjadikan debitur financial technology (fintech) masuk SLIK OJK masih belum terealisasi. Kelak yang nantinya bisa masuk hanya debitur fintech yang terdaftar resmi di OJK, sedangkan fintech pinjol ilegal jelas tidak bisa.

Namun, fintech sendiri bisa memasukkan debitur hitam yang wanprestasi ke black list OJK. Hal ini tentunya menjadi masalah utama bila masyarakat berurusan dengan fintech pinjol ilegal.

Mereka tidak bisa mendaftarkan debitur ke OJK. Dengan demikian, sejak awal mereka memilih "jalan pedang" dengan debt collector. Masalahnya, sejak awal memang pinjol ilegal ini seperti lintah darat mengambil keuntungan dari bunga yang sangat besar.

Melansir Antara, hal itu relatif sulit untuk dicek karena tidak masuk SLIK OJK dan BI Checking atau pencatatan informasi dalam sistem informasi debitur yang berisikan riwayat kelancaran atau non performing credit payment atau collectability (ketertagihan) debitur.

Banyak kerugian yang bisa ditimbulkan oleh masyarakat di Tanah Air karena di sana ada banyak data. Jika data tersebut diolah oleh orang yang tahu cara memanfaatkannya, akan menimbulkan banyak kerugian.

Kerugiannya tersebut tidak bisa dinilai dengan begitu mudah karena bisa jadi angka kerugiannya jauh lebih besar daripada yang diberitakan atau dilaporkan oleh masyarakat melalui medsos.

Jual beli data pribadi yang ditawarkan di media sosial rata-rata dihargai mulai dari Rp15 ribu sampai Rp25 ribu, tergantung pada kelengkapan identitas dan keterbaruan data tersebut.

Makin lengkap dan fresh data pribadi itu maka akan makin mahal pula harganya. Biasanya harga tersebut sudah menjadi satu paket dengan foto KTP, paspor, foto selfie, bahkan nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK).

Pada kasus jual beli data pada tahun 2017, tercatat sekitar 2.000.000 data nasabah bank dicuri. Pelaku mengaku telah mengumpulkannya dari karyawan marketing bank dan rekan marketing lainnya sejak 2014.

Selanjutnya, mereka mengiklankan penjualan data nasabah melalui website jawarasms.com, databasenomorhp.org, layanansmsmassal.com, walisms.net, temanmarketing.com, kemudian menjualnya dengan harga 1.000 data pribadi seharga Rp350 ribu. Data ini biasanya dijual mulai dari paket Rp50 ribu data pribadi seharga Rp20 juta.

Terkait hal ini, Juru Bicara Kominfo Dedy Permadi menegaskan, Kominfo akan segera mengambil langkah tegas setelah berkoordinasi lebih lanjut, baik secara internal maupun dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya.

Kominfo menegaskan kepada seluruh penyelenggara sistem elektronik (PSE) wajib mematuhi semua ketentuan yang berlaku dalam undang-undang, termasuk mengenai pengamanan sistem elektronik dan perlindungan data pribadi.

Kominfo juga meminta masyarakat yang menemukan konten negatif, termasuk konten swafoto identitas diri yang dijual bebas, dan aktivitas di medsos yang tidak sesuai dengan aturan ke kanal aduan resmi Kominfo, aduankonten.id.

Namun, imbauan saja tentu tidak cukup. OJK dan Polri perlu bergerak cepat memberantas pinjol ilegal demi menjaga rasa aman masyarakat sekaligus mempersempit ruang gerak rentenir di dunia maya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini