SuaraBatam.id - Hutang Indonesia yang terus menggunung membuat Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK khawatir. Alasan BPK khawatir pemerintah Indonesia tidak mampu bayar hutang Rp6.500 trilyun.
Alasannya karena saat ini Indonesia masih berkutat dengan wabah Covid-19 hingga membutuhkan anggaran lebih. Sehingga, bila terus menumpuk, BPK khawatir pemerintah tidak bisa membayar hutang.
Hal ini disampaikan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP) LKPP 2020. BPK juga khawatir kemampuan pemerintah Indonesia untuk membayar hutang akan semakin menurun.
Merujuk pada data per 23 Juni 2021 lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, saat ini hutang pemerintah mencapai Rp6.527,29 triliun atau 41,18 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per April 2021.
Baca Juga:Wabah Corona Kian Mengkhawatirkan, Pemkab Bintan Tambah 2 Hektar Lahan Kuburan
“Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar," tulis BPK dalam ringkasan eksekutif LHP LKPP 2020.
Sejumlah alasan dibalik kekhawatiran mereka terkait kemampuan pemerintah Indonesia dalam membayar hutang juga disampaikan.
Saat ini, BPK menilai rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR).
Untuk diketahui, standar IDR untuk rasio utang yang stabil berada di angka 92 persen hingga 176 persen. Terlebih, rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) berada di kisaran 90 persen hingga 150 persen.
Selain itu, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, hal ini telah melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen hingga 35 persen dan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen.
Baca Juga:BPK Didesak Segera Setor Hasil Audit Kasus Mega Korupsi Asabri ke Kejagung
"Melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 persen hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar tujuh hingga 10 persen,” sebut BPK, melansir Terkini.id --jaringan Suara.com.
BPK juga menyoroti indikator kesinambungan fiskal 2020 yang berada di angka 4,27 persen. Padahal batas yang direkomendasiT he International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5441 dibawah nol.
“Pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal,” pungkas BPK.