SuaraBatam.id - Polemik lahan di Galang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, yang direncanakan akan dibebaskan Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi polemik.
PLN baru-baru ini tidak memasukkan kegiatan pembebasan lahan di Galang Batang untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2×100 MW dalam rencana kerja tahun ini. Padahal rencana proyek sudah direncanakan sejak sekitar tiga tahun silam.
Hal ini dibenarkan Manajer Pertanahan PT PLN Unit Induk Pembangunan Pembangkit Sumatra, Rico Dilo Ginting.
"Saya sudah cek, memang tidak dialokasikan pembebasan lahan untuk PLTU Galang Batang pada tahun ini. Saya belum mengetahui penyebabnya, apakah mungkin karena dampak pandemi COVID-19 atau bukan, saya belum mendapat penjelasan," ujarnya.
Baca Juga:Hore! April-Juni 2021 Masih Ada Diskon Listrik, Begini Ketentuannya
"Kalau bersengketa sekali pun tetap kami bangun. Anggaran pembebasan lahan dapat kami titipkan di pengadilan," sambung dia.
Sebelumnya, Rico mengatakan kasus sengketa lahan itu bergulir di Mabes Polri. Pihak PLN pun diperiksa oleh penyidik Mabes Polri pekan depan.
"Anggota saya, yang berhubungan dengan persoalan teknis di lapangan lebih mengetahui permasalahan lahan tersebut sehingga beliau akan memberi keterangan yang dibutuhkan penyidik," katanya.
Rico mengatakan pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU tidak dilakukan oleh PLN, melainkan pihak Badan Pertanahan Nasional Bintan.
Sampai saat ini, PLN masih menunggu progres dari rencana pembebasan lahan tersebut.
Baca Juga:Jumlah Penumpang di Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang Merosot Tajam
"Untuk pembebasan lahan, kami belum mengeluarkan anggaran sepeser pun. Kami masih menunggu informasi dari BPN," ujarnya.
Ia melanjutkan, lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan PLTU di Galang Batang sekitar 68 hektare. Namun ia tidak ingin memasuki permasalahan sengketa lahan yang sedang terjadi.
"Tahapan demi tahapan sudah dilaksanakan, bahkan sudah memasuki penetapan harga lahan," ujarnya.
Mantan Humas PT Libra Agrotaman Asri, Ady Indra Pawenari, pada Kamis (22/4/2021) lalu menyatakan, tanah seluas 68 hektare yang akan dibangun PLTU tersebut seharusnya tidak bermasalah jika Camat Gunung Kijang tidak menerbitkan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) tahun 2004.
Surat tanah itu pun tidak teregistrasi di kantor kecamatan maupun pedesaan setelah dikonfirmasi kepada Arif Sumarsono yang saat ini Camat Gunung Kijang. Sementara surat tanah berupa sertifikat milik PT Libra diterbitkan tahun 1996.
Tahun 2018, PT Libra mulai melakukan penelusuran terhadap permasalahan lahan tersebut setelah menemukan sejumlah patok untuk pembangunan PLTU. Namun pihak PLN tidak pernah berkoordinasi dengan manajemen PT Libra.
Kemudian PT Libra baru mengetahui ada surat tanah di atas lahan yang dikuasainya diterbitkan oleh Camat Gunung Kijang. Penerbitan 34 Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) oleh Camat Gunung Kijang tahun 2004. Saat itu, Heri Wahyu menjabat sebagai Camat Gunung Kijang.
Kejahatan dalam penguasaan lahan ini diperkuat oleh surat penjelasan Camat Gunung Kijang, Arief Sumarsono, Nomor : 100/ GKJ/ 171, tanggal 19 Juni 2019 dan surat keterangan Kepala Desa Gunung Kijang, La Nade, Nomor : 029/ SKET/ DGK/ VIII/ 2019, tanggal 2 Agustus 2019.
“Dalam surat Camat dan Kepala Desa Gunung Kijang tersebut, sudah sangat tegas disebutkan bahwa 34 SKPT yang diterbitkan Camat Gunung Kijang, HW pada pada tahun 2004, tidak teregister di kantor Camat dan kantor Desa Gunung Kijang,” jelas Ady.
Berdasarkan hasil perhitungan Antara dari surat keterangan Camat dan Kepala Desa Gunung Kijang, luas 34 SKPT yang diduga bodong itu, mencapai 66,45 Ha. Sedikitnya ada 5 nama yang lebih dominan dalam 34 SKT tersebut.
Kelima nama tersebut, yakni Dahlan memiliki 3 SKPT, Yuliana 5 SKPT, M. Jafa’ar Hasbi 3 SKPT, Syamsudin D 2 SKPT dan Abdullah Aba 2 SKPT. Nama lainnya, masing-masing memiliki 1 SKPT.
Berdasarkan penelusuran di lapangan, motif penerbitan 34 SKPT yang diduga dibuat dengan menggunakan tanggal mundur itu, ada kaitannya dengan rencana PT. PLN Persero membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) kapasitas 2 x 100 MW di daerah tersebut.
Belakangan, setelah Unit Induk Pembangunan Pembangkit Sumatera yang berkantor di Medan melakukan studi kelayakan pembangunan PLTU kapasitas 2 x 100 MW dan Gubernur Kepri melakukan penetapan lokasi, barulah muncul masalah baru.
Lokasi yang semula diklaim oleh Dahlan dan kawan-kawan sebagai miliknya berdasarkan bukti kepemilikan 34 SKT tahun 2004 tersebut, dimentahkan oleh pemilik PT Libra, Laurence M. Takke dengan menunjukkan bukti kepemilikan sertipikat hak milik terbitan tahun 1996.
Awalnya, Laurence tak keberatan tanahnya ditetapkan sebagai lokasi pembangunan PLTU 2 x 100 MW demi kepentingan masyarakat dan negara. Namun, Kantor Pertanahan Kabupaten Bintan yang ditunjuk sebagai pelaksana pengadaan tanah, sampai sekarang belum berhasil menyelesaikan permasalahan klaim kepemilikan atas tanah tersebut.
“Akhirnya, akibat ulah mafia tanah ini, masyarakat dan negara yang dirugikan. Bayangkan, berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan. Mulai dari biaya studi kelayakan, pengukuran, pemasangan patok dan biaya panitia pengadaan tanah. Ini harus diusut tuntas,” tegas Ady.
Terkait permasalahan sengketa lahan tersebut, Heri Wahyu menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani surat tanah (SKPT) tersebut.
"Saya tidak pernah menandatangi 34 SKPT tersebut," tegasnya.
Di atas lahan yang sama, ada sejumlah warga dari pihak keluarga perusahaan tertentu yang pernah mengelola lahan itu juga memiliki surat tanah. Pihak perusahaan ini juga pernah melaporkan G, seorang warga, yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan dan penyerobotan lahan di lokasi yang akan dibangun PLTU tersebut.
Berdasarkan data, Am, tahun 2018 sudah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa Gunung Kijang, namun dirinya diminta untuk mendatangani sejumlah SKPT. SKPT itu tertulis tahun 2004, namun ditandatangi tahun 2017. [Antara]