Scroll untuk membaca artikel
Eliza Gusmeri
Rabu, 20 September 2023 | 18:51 WIB
Bukti Kehidupan Orang Suku Darat Rempang pada tahun 1930 dalam artikel Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (ist)

SuaraBatam.id - Pemerhati isu lingkungan dan HAM yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Akademisi dari UGM menyampaikan fakta dan sikapnya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi target pemerintah di tahun 2024, salah satunya Rempang Eco-City.

Menurut Pemerhati isu lingkungan dan HAM ini berbagai proyek strategis nasional seyogianya tidak menggusur keberadaan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal sebagai penjaga lahan dan lingkungan setempat. 

Bahkan tidak jarang perjuangan untuk mempertahankan wilayah adat dan penghidupannya, justru mengancam keselamatan mereka.

Data laporan Global Witness (2023) mencatat bahwa terhitung dari tahun 2012 hingga tahun 2022, terdapat setidaknya 1.910 pejuang lingkungan dan keadilan iklim yang terbunuh di seluruh dunia. Selama tahun 2022, setidaknya terjadi 16 kasus pembunuhan terjadi di kawasan Asia dan 3 diantaranya berasal dari Indonesia. Mereka terbunuh karena berusaha mempertahankan wilayahnya dari alih fungsi lahan untuk keperluan industri.

Baca Juga: Muncul saat Aksi Bela Rempang di Jakarta, Menantu Habib Rizieq Duduk di Karpet dan Dijaga Ketat Laskar FPI

Sementara konflik masyarakat adat Rempang versus negara dan investor yang saat ini sedang berlangsung, berpotensi menambah panjang daftar korban pejuang lingkungan.

Konflik ini dipicu oleh eksekusi Rencana Proyek Rempang Eco-City sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan melalui Permenko Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator RI No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.2
Sebanyak 7.500 orang penduduk Rempang, termasuk Masyarakat Adat Tempatan dari 16 kampung Melayu Tua yang dihuni oleh Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka yang sudah sejak lama mereka huni dari zaman leluhurnya.

Bahkan proses pemindahan diberi waktu sangat cepat. Sampai dengan akhir September 2023, mereka harus pindah ke tempat relokasi sementara yaitu rusun-rusun, sedangkan rumah yang dijanjikan sebagai pengganti belum rampung.

“Konflik Rempang mengakibatkan luka yang sangat besar bagi masyarakat di sana, khususnya Masyarakat Adat Tempatan yang sudah tinggal di sana sejak tahun 1834. Tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat juga menimbulkan trauma mendalam pada anak-anak. Kami menyoroti tindakan pemerintah tanggal 12 September, di mana aparat merelokasi secara paksa empat kampung di Pulau Rempang yaitu Kampung Sembulang, Tanjung Banun, Dapur Enam, dan Pasir Panjang. Sedikitnya, relokasi tahap pertama tersebut akan memindahkan 700 keluarga yang bermukim di empat kampung yang luasnya 2.000 hektar,” jelas Ferry Widodo, Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Divisi Wilayah Kelola Rakyat (WKR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dari rilis yang diterima suarabatamid, 20 September 2023.

PSN Rempang Eco-City seolah mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Tempatan dengan tidak adanya pengakuan atas keberadaan mereka yang sudah lama mendiami wilayah tersebut.

Baca Juga: Tambang Ilegal Kian Marak di Jawa Tengah, Proyek Strategis Nasional Disebut Turut Andil, Benarkah?

Sebagai masyarakat adat yang sudah mendirikan kampung di Pulau Rempang, sebetulnya penghidupan dan hak mereka sudah dijamin dalam SK Walikota Batam Nomor: KPTS 105/HK/III/2004 dan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam pada pasal 21 ayat 4.

Ferry menegaskan bahwa Masyarakat Adat Tempatan yang terdampak proyek ini akan mengalami kerugian seperti kehilangan sejarah kehidupan, ikatan sosial sesama warga, ikatan ekonomi termasuk hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan peladang yang telah berlangsung secara turun temurun.

“Saya melihat fenomena kejahatan kemanusiaan terjadi kepada masyarakat adat dengan adanya tindak kekerasan dan pemaksaan untuk direlokasi. Hal ini berpotensi menghilangkan identitas Masyarakat Adat Tempatan itu sendiri. Sudah pasti relokasi tersebut tidak cocok. Pemerintah terlalu memaksakan kalau memindahkan masyarakat rempang dari habitat alaminya di sekitar pesisir ke rusun-rusun lingkup perkotaan. Karena itu, saat ini muncul solidaritas dari Suku Melayu lainnya dari Riau, Sumatera, dan Kalimantan untuk membela hak Masyarakat Adat Tempatan. Sudah seharusnya dukungan dari Masyarakat Adat lainnya ini menjadi pertimbangan dari pemerintah terhadap keberlanjutan proyek Eco-City,” lanjut Ferry.

Lebih lanjut Ferry menjelaskan, Masyarakat Adat Tempatan memiliki nilai sejarah yang kaya, sistem sosial yang menjaga alam tetap lestari, serta sudah sejak dulu berkontribusi dalam menjaga ekosistem pantai. “PSN malah melegalkan upaya perusakan lingkungan melalui pembangunan industri kaca yang akan merusak ekosistem kelautan,” kata Ferry.


Rempang adalah Kawasan Konservasi

Berdasarkan catatan WALHI ada kekeliruan prosedur dalam kasus Rempang sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Karena sampai saat ini Pulau Rempang masih menjadi kawasan konservasi pada SK.179/IV-KKBHL/2013 tanggal 21 Juli 2013, selain itu SK ini kemudian diperkuat oleh Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam SK.76/IV-KKBLH/2015 Tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam Dan Taman Buru yang menyatakan bahwa Pulau Rempang masih teregister sebagai kawasan Taman Buru oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Selain itu, Dokumen Gubernur Kepulauan Riau, Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau No. 1 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau tahun 2017-2037 pada pasal 41g menyatakan bahwa Rempang merupakan Hutan Lindung.

Lalu, secara tiba-tiba terbitlah HPL atas wilayah tersebut kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) bulan Juli 2023. "Masih menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah memberikan HPL atas kawasan hutan, Artinya, pemerintah telah menyalahi kebijakan yang mereka atur sendiri,” tegas Ferry.


Masalah Besar di Balik PSN

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Pemerintah seolah sedang ‘mengebut’ dalam menyelesaikan rangkaian PSN di berbagai wilayah. Tercatat hingga September 2023, sudah ada sebanyak 161 PSN yang sudah terealisasi.

Namun, organisasi kemasyarakatan yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyoroti pelaksanaan PSN yang cacat secara prosedur dan proyek dilaksanakan secara terburu-buru.

Banyak permasalahan besar yang muncul seperti: tidak adanya persetujuan sejak awal penetapan lokasi PSN, proses musyawarah yang dilakukan tidak dengan itikad baik, hingga intimidasi terhadap masyarakat sekitar proyek, yang seringkali berakhir dengan kriminalisasi. Mirisnya, upaya kriminalisasi tersebut justru menimpa orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup yang baik bagi generasi penerus bangsa ini.


“Seperti konflik di Rempang yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah menyangkal bahwa masyarakat yang tinggal di Rempang bukanlah Masyarakat Adat, serta belum memiliki legalitas hukum. Tetapi, jika 16 Kampung Tua mengklaim eksistensi mereka sebagai Masyarakat Adat melalui hukum adat maka itu harus dihormati. Ketiadaan pengakuan dari negara tidak berarti bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak atas wilayah adatnya yang telah ditempati secara turun-temurun itu hilang”, tegas Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) PB AMAN.

Sementara itu, data AMAN selama 5 (lima) tahun terakhir (2018-2022) mencatatkan setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 Juta hektar wilayah Masyarakat Adat.

AMAN mencatat beberapa konflik lainnya yang sudah terjadi akibat PSN seperti proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, proyek Geothermal di Manggarai, NTT, hingga proyek pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.

“Semua konflik itu kami dokumentasikan dalam Catatan Akhir Tahun AMAN. Pada IKN sendiri, setidaknya terdapat 21 komunitas Masyarakat Adat yang mendiami wilayah pembangunan IKN. AMAN memperkirakan sedikitnya terdapat 20,000 jiwa Masyarakat Adat yang akan terampas haknya akibat proyek ambisius IKN di Kalimantan Timur itu”, tambah Arman.

Arman menjelaskan untuk kesekian kalinya tidak terlihat peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mencegah terjadinya tindakan represif terhadap Masyarakat Adat. “Pemerintah/penyelenggara negara gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi hak-hak warga termasuk dalam hal ini masyarakat adat, bahkan cenderung lebih pro terhadap kepentingan investasi-korporasi,” jelasnya.


Potensi konflik justru dipicu oleh kehadiran aparat dalam jumlah besar. Ada ketimpangan dalam adu kekuatan antara aparat dengan masyarakat terdampak, terutama Masyarakat Adat. Pola serupa terjadi di semua PSN yang saat ini sedang dikebut oleh pemerintah seiring dengan hampir berakhirnya periode pemerintahan Presiden Jokowi di 2024 mendatang.

“Saya tegaskan, kita tidak bisa ‘membeli’ sejarah. Negara telah gagal mempertahankan identitas warganya dan menghilangkan ruang hidup dan penghidupan mereka, terutama pada anak-anak muda sebagai pemilik masa depan bangsa ini”, tutup Arman.

Sepuluh Hak Masyarakat Adat yang Terampas akibat PSN

Peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rempang tanggal 7 September 2023 harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Herlambang P Wiratraman, Dosen Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) menilai setidaknya ada 10 (sepuluh) hak Masyarakat Adat yang terampas dalam proses pelaksanaan PSN di berbagai wilayah di Indonesia. Kesepuluh hak tersebut adalah 1) Negara telah berdosa karena gagal menjamin hak hidup, 2) Negara membiarkan kekerasan terjadi kepada anak-anak, 3) terjadinya pelumpuhan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga, 4) tidak adanya jaminan atas hak kolektif dalam mempertahankan wilayahnya, 5) tidak adanya pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat yang dijamin dalam sistem hukum yang adil, 6) terjadinya berbagai serangan siber, 7) adanya kekerasan oleh aparat dan premanisme, 8) hilangnya hak hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat, 9) hak milik pribadi dan hak lainnya yang diambil alih secara paksa, dan 10) Negara gagal menjalankan mandat konstitusional: perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

“Kesepuluh pelanggaran hak ini tidak hanya terjadi di Rempang saja, melainkan di wilayah lainnya seperti kasus PSN Bendungan Bener, di Wadas. Hal ini sangat saya sayangkan karena seluruh hak yang diatur dalam konstitusional negara justru dilanggar oleh pemerintahnya sendiri. Ditambah lagi, produk hukum seolah diatur menyesuaikan untuk bisa mengakomodir PSN. Bahkan di lapangan seringkali terjadi manipulasi fakta yang sudah
beyond-the-law”, tambah Herlambang.

Selain HAM, ada hak lain yang juga dilanggar pemerintah terhadap Masyarakat Adat dalam konteks Free, Prior, Inform, and Consent (FPIC).

Pemerintah seharusnya berkomunikasi dan melakukan sosialisasi atas sebuah proyek pembangunan.

“Dalam melakukan FPIC ini pemerintah harus mengakui hak Masyarakat Adat untuk mengambil keputusan yang tepat terkait hal-hal yang mempengaruhi tradisi tradisi dan cara hidup mereka.” paparnya.

Herlambang menilai PSN lebih mengutamakan kepentingan investasi ketimbang kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya. “Sampai saat ini, saya masih mempertanyakan ‘ukuran’ strategis dalam mengukur program ini. Karena setiap proyeknya didominasi oleh politik investasi bukan untuk kesejahteraan sosial. PSN ini sangat kental dengan capital-driven-investment. Jadi, strategis di sini itu ‘strategis untuk siapa’?,” ungkap Herlambang.
Solusi Penyelesaian Konflik Akibat PSN

Agar tidak memakan banyak korban, berbagai konflik yang terjadi akibat PSN perlu penyelesaian secara cepat, efektif, dan mengakomodir hak masyarakat sekitar, termasuk Masyarakat Adat. Organisasi masyarakat yang diwakili oleh WALHI dan AMAN menyerukan untuk menghentikan PSN yang berpotensi memicu konflik.

Merespons penyelesaian konflik Rempang, Ferry dari WALHI menyampaikan bahwa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan pengakuan terhadap masyarakat yang ada di pulau Rempang.

Pengakuan ini harus dibuktikan dengan tidak dipaksa keluar dari kampung Melayu Tua. Kemudian, PSN ini harus dihentikan karena sudah mencederai dan menjauhkan masyarakat dari sumber penghidupannya.

“Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang seolah melegalkan kejahatan kemanusiaan. Salah satunya melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Lalu, yang juga perlu dicek adalah dokumen yang sudah dikeluarkan seperti HPL pada perusahaan PT MEG yang akan mengembangkan Rempang Eco City. Sekali lagi saya tegaskan, HPL bukan pengakuan hak atas tanah hanya hak pengelolaan yang bisa diberikan kepada badan usaha/pemerintah. Tetapi, jika ada masyarakat di atasnya wajib direlokasi diganti rugi dengan syarat musyawarah,” tutup Ferry.
(*)

Load More