Scroll untuk membaca artikel
Eliza Gusmeri
Selasa, 01 Februari 2022 | 07:15 WIB
Penjual jeruk imlek di kawasan Nagoya Bumi Indah saat ini kembali merasakan banjir orderan di tengah pandemi (partahi/suara.com)

SuaraBatam.id - Memasukki tahun ketiga pandemi Covid-19, perayaan Imlek di Batam, Kepulauan Riau tahun ini tampak kurang semarak.

Nagoya Bumi Indah, sebagai kawasan di Batam yang biasanya ramai dengan pernak-pernik Tionghoa tiap tahunnya suasananya juga terpantau biasa saja.

Hal itu dirasakan oleh Jelvin Tan (25), warga Tionghoa Batam bahwa perayaan Imlek kali ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Tradisi yang paling saya rindukan dalam dua tahun terakhir ini, adalah tradisi open house. Sebagai anak muda, tentu saya sangat rindu untuk berkumpul bersama di rumah teman, sahabat, dan bersama seluruh anggota keluarga besar," jelasnya saat ditemui suarabatam.id, Sabtu (29/1/2022).

Baca Juga: Mengkhawatirkan! Kasus Covid-19 di Batam Meningkat Tajam pada Januari

Awalnya, Jelvin memprediksi bahwa perayaan Imlek di tahun Macan Air ini akan berbeda dengan dua tahun sebelumnya.

Hal ini dikarenakan mulai menurunnya angka penyebaran Covid-19 di Batam, yang bahkan beberapa kali telah mencapai angka 0 pasien.

Namun, masuknya varian Omicron ke Indonesia, membuyarkan mimpi Jelvin ingin berkumpul bersama keluarga besar.

"Mimpi ingin berkumpul dengan keluarga bukan berarti mengesampingkan protokol kesehatan. Tapi Omicron masuk, terpaksa dikubur dulu mimpinya. Berhubung juga keluarga yang lain banyak berada di Singapura. Intinya sama kayak tahun lalu lagi lah," lanjutnya.

Salah satu alasan lain Jelvin harus kembali bersama pada Imlek 2022 ini, adalah masa lalunya yang harus melihat kedua orang tuanya, mendapatkan perawatan saat terkena Covid-19 pada tahun 2021.

Baca Juga: Imlek 2022, Tangkapan Ikan Dingkis 'si Pembawa Hoki' Berkurang di Batam

"Apalagi orang tua saya juga memiliki penyakit lain. Saat itu saya sangat khawatir. Makanya masuknya varian baru ini, saya juga memintalah kepada muda-mudi Tionghoa di Batam, agar sama-sama saling jaga, dan menahan nafsu dulu untuk berkumpul," paparnya.

Walau demikian, sebagai anak muda Jelvin juga menuturkan akan tetap mempertahankan tradisi berkirim jeruk Imlek, bagi rekan, teman, sahabat, dan keluarga.

"Walau nanti tidak bisa turun dan berkumpul. Tapi mengirim jeruk Imlek harus tetap dipertahankan. Jangan sampai hilang tradisi ini. Karena tradisi open house kini sudah mulai tidak nampak lagi," terangnya.

Berbeda dengan Jelvin, yang merindukan beberapa tradisi Imlek sebagai salah satu pemuda Tionghoa Batam, Lik Khai (50) sebagai salah satu tokoh Tionghoa di Batam, lebih mengingat bagaimana sejarah Imlek bisa dirayakan lebih meriah di Batam.

Hal ini menurutnya tak lepas dari campur tangan Presiden keempat Republik Indonesia (RI), Abdulrahman Wahid atau yang kerap dipanggil Gus Dur.

Sikap keberagaman dan saling menghormati, yang selalu dicontohkan oleh Gus Dur, menjadi hal yang akan sangat dikenang oleh masyarakat Tionghoa tidak hanya di wilayah Kepulauan Riau, tapi juga seluruh Indonesia.

Tiba di Batam pada tahun 1984, Lik Khai menggambarkan suasana perayaan Imlek di Batam yang jauh dari kata sangat meriah.

"Setiap tahun, kita orang Tionghoa harus balik ke kampung halaman dan merayakan di sana. Di sini itu gak ada apa-apa. Tambah lagi di tahun itu Batam memang masih sepi kan," tuturnya.

Mulai meriahnya perayaan Imlek di Batam, baru dirasakan sekitar tahun 1998 disaat Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI.

Dari sana berbagai paguyuban baik etnis, maupun yang berasal dari marga Tionghoa, mulai melaksanakan perayaan yang difokuskan tepat di depan Hotel Sari Jaya, Nagoya Bumi Indah.

Pada kesempatan itu, Lik Khai juga mengenang jasa Gus Dur yang meresmikan perayaan Imlek sebagai libur Nasional.

"Tapi mau bagaimana, karena pandemi. Kegiatan-kegiatan yang dulu dilakukan meriah, hingga ada kembang api terpaksa ditiadakan," ujarnya.

Lik Khai juga menekankan, pentingnya orang Tionghoa di Batam guna menahan diri, untuk berkumpul bersama dikarenakan pandemi Covid-19 yang saat ini menjadi penghalang.

Karena alasan itu, ia terpaksa membatalkan agenda kumpul bersama, yang sebelumnya sudah direncanakan dengan keluarganya.

"Nanti paling hanya kumpul bersama keluarga inti saja. Dengan sanak saudara yang lain, paling virtual saja. Saya sangat menjaga keluarga saya, agar tidak terpapar Covid lagi. Terutama ibu yang sudah sangat tua," lanjutnya.

Pada perayaan Imlek setiap tahun, hal yang paling dirindukan oleh etnis Tionghoa diakuinya sama dengan yang dirasakan oleh pemeluk agama lain dalam merayakan hari besar.

Bersilaturahmi dan berkumpul, hingga bertukar hadiah antar anggota keluarga menjadi hal yang sangat dirindukan.

Imlek tahu ini dilambangkan dengan Macan sebagai simbol shio.

Macan dalam budaya Cina memiliki makna tersendiri.

Macan melambangkan karakteristik kekuatan besar, keberanian, dan pengusir kejahatan, dan juga bagian dari keberuntungan.


Jeruk Masih Laris Manis

Penjual jeruk imlek di kawasan Nagoya Bumi Indah saat ini kembali merasakan banjir orderan di tengah pandemi (partahi/suara.com)

Meskipun Imlek dirayakan tak semarak, hal ini ternyata berdampak positif terhadap penjualan jeruk Imlek import, yang dirasakan oleh para penjual di kawasan Nagoya Bumi Indah.

Salah satunya seperti yang dijelaskan oleh Herlin, penjual jeruk dan bingkisan Imlek di Toko Sempurna Jaya.

"Sekarang malah sudah banyak yang habis, karena sudah dipesan oleh para langganan kita. Terutama yang import," paparnya.

Berbagai merk jeruk import untuk Imlek yang mulai masuk ke Batam sejak 7 Agustus lalu, kini sudah mulai terbatas ketersediaannya.

Untuk harga jual, Herlin juga menuturkan memiliki harga mulai dari Rp90 ribu hingga ratusan ribu rupiah per kilogramnya.

"Semakin mendekati hari Imlek biasanya harga juga jadi semakin mahal. Makanya banyak yang sudah order, jauh sebelum Imlek," terangnya.

Kontributor : Partahi Fernando W. Sirait

Load More