Zia sendiri sebelumnya, bekerja sebagai relawan di sebuah klinik dalam program vaksinasi polio, saat perang antar Taliban dan Pemerintah mulai berkecamuk, dan dibantu oleh Amerika Serikat.
Menurutnya Taliban turut memburu mereka yang bekerja dengan pemerintah termasuk tenaga kesehatan.
Dia bahkan sempat menyaksikan beberapa rekan seprofesinya tewas di ujung senapan.
Saat itulah dia membuang seluruh identitasnya sebagai relawan kesehatan, tidak lama berselang, karena merasa nyawanya terancam, Zia memutuskan meninggalkan Afghanistan dan mencari suaka ke negara lain, agar kemudian dapat membawa seluruh anggota keluarganya.
Baca Juga:Polda Kepri Ringkus Dua Pengedar Sabu di Batam, Ditangkap di Dua Lokasi Berbeda
Hal senada juga dilontarkan oleh Muhammad Reza, yang melontarkan bahwa pasukan Taliban sebagian besar merupakan warga Pakistan, yang membantu kelompok tersebut dalam memasok senjata.
Reza panggilannya, juga memberikan cap Taliban jahat lantaran kelompok bersenjata itu dinilai melanggar hak asasi manusia dan budaya.
Salah satunya, perempuan tidak diizinkan keluar rumah tanpa baju yang tertutup plus burqa.
Kaum perempuan juga dilarang mengakses pendidikan dan tidak dizinkan mengendarai kendaraan bermotor sementara kaum laki-laki diwajibkan memelihara janggut.
“Pemerintah lebih baik dalam mengelola Afghanistan ketimbang Taliban. Pemerintah tidak pernah mengatur cara berpakaian kami, kalau Taliban, laki-laki yang mau bermain sepak bola saja harus menutupi hampir seluruh kaki. Itu yang kami rasakan sejak Taliban ada pada 1990-an” jelasnya yang juga merupakan bagian dari etnis Hazara.
Baca Juga:Kemnaker Amankan 55 Calon Pekerja Migran di Batam, Diduga akan Diberangkatkan ke Singapura
Salah satu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Taliban, adalah tidak mentolerir warga Afghanistan pemeluk agama lain di luar Islam.