Scroll untuk membaca artikel
Eliza Gusmeri
Rabu, 17 November 2021 | 20:50 WIB
Ladya Cheryl, Marthino Lio dan Sal Priadi di film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. [Instagram]

SuaraBatam.id - Film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" segera tayang mulai 2 Desember di bioskop seluruh Indonesia.

Diangkat dari novel penulis dengan penghargaan internasional Eka Kurniawan, film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" mendapatkan klasifikasi 17+ dari Lembaga Sensor Film, meski begitu Palari Films menghimbau film ini untuk 18+ Khusus Dewasa.

Film yang memenangkan hadiah utama Golden Leopard di Locarno Film Festival ini disutradarai oleh Edwin. Para pemainnya, Marthino Lio dan Ladya Cheryl juga turut dibintangi Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan memperkenalkan Sal Priadi.

Film ini berkisah tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh sebuah rahasia, ia impoten.

Baca Juga: Ratu Felisha Rela Tampil Jelek di Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Ketika berhadapan dengan seorang petarung perempuan tangguh bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik dia jatuh cinta.

Akankah Ajo menjalani kehidupan yang bahagia bersama Iteung dan, pada akhirnya, berdamai dengan dirinya?

Film Tentang toxic masculinity

Mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin, film ini menjadi pernyataan bagi Edwin mengenai toxic masculinity.

Edwin yang tak hanya menyutradarai tapi juga turut menulis skenarionya bersama Eka Kurniawan mengatakan, “Tumbuh besar di masa kejayaan rezim militer, cerita dan mitos mengenai heroisme dan kejantanan lelaki menjadi sangat familiar bagi saya.

Baca Juga: Wanita Ini Nekat Rekam Film Bioskop Pakai Ponsel, Aksinya Tuai Cibiran

Para pemain dan kru Film 'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas' saat jumpa pers di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/11/2021). [Suara.com/Alfian Winanto]

Kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia hari ini, di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang di era 80an/90an.

Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi”.

Tak hanya Ajo Kawir, sang jagoan kampung yang terjebak dengan ekspektasinya sebagai laki laki di dunia maskulin, ada juga sosok Iteung, karakter cewek yang berhasil mengimbanginya dalam hal beraksi laga dan bernyali tinggi.

Iteung yang diperankan oleh Ladya Cheryl tampil berenergi sebagai cewek badass yang bukan cuma menjadi kekasih bagi Ajo, tapi juga jagoan yang punya kekuatan setara dengan Ajo Kawir.

Iteung juga punya traumanya sendiri sebagai perempuan yang harus hidup di dunia yang maskulin. Iteung tumbuh untuk berani mengambil resiko dan keputusannya sendiri yang menjadikannya seorang tak kalah kuat.

Berlatar waktu di akhir tahun 80an dan awal 90an, film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid.

Edwin menjelaskan, “Referensi saya tentang gambar sangat dipengaruhi oleh imaji-imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti Flora dan Fauna, Sesame Street, hingga Si Unyil yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm. Bagi saya, 16 mm adalah representasi realita sehari-hari yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya terhadap periode 80/90an.

Tentu saja keinginan menggunakan pita seluloid dalam proses shooting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih dalam merealisasikannya.

Petikan trailer film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas [YouTube]

Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm.

Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Sebuah pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan dalam masa pandemi.

Meiske Taurisia, dan Muhammad Zaidy selaku produser percaya bahwa setiap cerita, dan karakter dalam film harus dituturkan dengan caranya yang unik.”

Untuk “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, Edwin melakukan kolaborasi internasional dengan menggandeng Director of Photography Akiko Ashizawa yang berasal dari Jepang.

Akiko biasa berkolaboasi bersama sutradara kawakan Kiyoshi Kurosawa salah satunya Tokyo Sonata (2008) dan editor dari Thailand, Lee Chatametikool.

Lee dikenal sebagai kolaborator dari sutradara terkemuka Thailand, Apichatpong Weerasethakul. Salah satunya pemenang Cannes Film Festival 2010, ‘Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives’ (2010).

Setelahnya, film ini berkeliling ke festival film berbagai negara seperti Toronto, Hamburg, Busan, London, dan masih banyak lagi.

Lebih dari 30 festival disambangi oleh film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” dan sebelum kembali pulang ke Indonesia film ini didaulat sebagai pembuka Singapore International Film Festival pada 25 November.

Palari Films juga segera merilis lagu tema “Bangun, Bajingan” yang dibawakan oleh Ananda Badudu ft Rubina dan berkolaborasi dengan Lie Indra Perkasa & Dave Lumenta.

Informasi selanjutnya diperbaharui melalui akun media sosial Instagram.com/sepertidendamfilm.

Load More