
SuaraBatam.id - Ahli ekonomi, Makroekonomi dan Pasar Keuangan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, Indonesia tidak akan sampai tahap gagal bayar.
Untuk diketahui, per Mei 2021, utang Indonesia meningkat 22 persen menjadi Rp6.418,15 trilyun dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp5.258,7 trilyun.
"Saya rasa memang iya utang kita naiknya melonjak drastis. Kita tidak pernah memiliki utang secara rasio PDB setinggi ini, tapi kalau dibandingkan banyak negara kita memang jauh lebih aman. Jadi, saya tidak melihat ini sebagai ancaman bahwa kita akan mendekati gagal bayar," ujar Riefky, Sabtu (26/6/2021).
Meski utang Indonesia meningkat drastis, Riefky mengatakan, hal itu dilakukan karena mendesaknya berbagai kebutuhan untuk menangani krisis kesehatan dan juga berbagai program perlindungan dan bantuan sosial untuk mengurangi dampak wabah Covid-19.
"Permasalahannya ini kita harus membahasnya dalam konteks yang sesuai. Memang betul di satu sisi utang Pemerintah Indonesia ini naik melampaui kondisi-kondisi sebelum adanya pandemi, tapi kalau kita bandingkan dengan negara lain, utang kita melonjaknya tidak yang paling parah. Bahkan, banyak negara yang utangnya sampai di atas 100 persen dari GDP-nya atau mendekati 100 persen. Kita masih 40 persen. Ini pun juga sebelum pandemi kita jauh lebih rendah dari negara lain," kata Riefky.
Untuk informasi, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 menyebut, rasio defisit dan utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, namun ada tren peningkatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.
BPK menyebutkan indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF atau International Debt Relief (IDR) seperti rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.
"Apa yang disampaikan BPK itu betul, tapi saya rasa belum komplit atau belum utuh. Satu, iya utang kita meningkat, tapi yang tidak disampaikan oleh BPK, utang Indonesia sebagian besar itu utang jangka panjang. Jadi, kita tidak bicara kita gagal bayar setahun dua tahun, ini adalah utang yang memang jatuh temponya 30 sampai 50 tahun," ujar Riefky kepada Antara.
Baca Juga: Pemerintah Resmi Terbitkan SBR010 dengan Kupon 5,10 Persen
Ia menambahkan, utang tidak hanya digunakan untuk membantu masyarakat. Tapi juga digunakan untuk berbagai program strategis pemerintah seperti pembangunan infrastruktur dan juga membuat lapangan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
"Jadi, saya rasa ini isunya juga perlu didudukkan sesuai dengan konteksnya. Bahwa ini untuk kebutuhan yang urgent iya, bahwa ini tidak ada cara lain, iya, karena saat ini penerimaan pemerintah sangat tertekan selama pandemi. Namun, bahwa ini adalah utang yang bukan jatuh tempo dalam waktu dekat, itu juga perlu disampaikan," kata Riefky.
Namun demikian, Riefky mengingatkan utang pemerintah harus dikelola secara sangat hati-hati dan disiplin, serta publik juga harus terus memantau pengelolaan utang pemerintah tersebut.
Ia menilai selama utang pemerintah digunakan untuk kebutuhan yang produktif seperti menjaga daya beli dan kesejahteraan masyarakat, tidak akan menjadi masalah ke depannya. Risiko gagal bayar pun juga tampaknya kemungkinan kecil akan terjadi.
"Saya juga perlu tekankan ini sangat jauh, saya rasa ini bahkan tidak akan mungkin terjadi gagal bayar. Artinya, kalau kita melihat kondisi pandemi ini, ada 50 lebih negara yang utangnya jauh lebih parah dari Indonesia. Kalau kita sampai melihat Indonesia gagal bayar, berarti kita sudah sampai di tahap melihat 50 negara lain ini sudah mengalami gagal bayar. Saya rasa ini skenario yang sangat kecil kemungkinannya akan terjadi," ujar Riefky.
Utang pemerintah memang naik signifikan dan menimbulkan kekhawatiran sebagaimana disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tapi utang itu dinilai tidak akan sampai pada tahap gagal bayar.
Berita Terkait
-
Utang Indonesia Naik, Menteri Luhut: Gara-gara Covid-19
-
Tak Cuma Kejar Popularitas, 6 Artis Korea Ini Kerja Keras Demi Lunasi Utang Keluarga
-
Ditagih Orang, Atta Halilintar : Ibuku Nggak Pernah Bilang Punya Utang
-
Utang Indonesia Capai Rp 6.418 Triliun, Ini Tanggapan Sri Mulyani
-
Kementerian Investasi Gandeng UI untuk dalam Investasi Baterai Mobil Listrik
Terpopuler
- Usai Jokowi, Kini Dokter Tifa Ungkit Ijazah SMA Gibran: Cuma Punya Surat Setara SMK?
- 8 Promo Kuliner Spesial HUT RI Sepanjang Agustus 2025
- Jay Idzes Pakai Jam Tangan Rolex dari Prabowo saat Teken Kontrak Sassuolo
- Gibran Cuma Lirik AHY Tanpa Salaman, Sinyal Keretakan di Kabinet? Rocky Gerung: Peran Wapres Diambil
- Eks Menteri Agama Gus Yaqut Dicekal Terkait Korupsi Haji! KPK Ungkap Fakta Mengejutkan
Pilihan
-
4 Rekomendasi Tablet Murah untuk Main Game Terbaru Agustus 2025
-
Api Perlawanan Samin Surosentiko Menyala Lagi di Pati, Mengulang Sejarah Penindasan Rakyat
-
4 Rekomendasi HP Murah Chipset Snapdragon Gahar, Harga mulai Rp 2 Jutaan Terbaru Agustus 2025
-
Grup Emiten Boy Thohir Disebut Dapat Diskon Tak Wajar atas Pembelian Solar di Pertamina
-
Sri Mulyani: Mengelola Anggaran Tanpa Transparansi Pasti Banyak Setan
Terkini
-
Daftar Harga Produk Tecnifibre Terbaru 2025
-
BFF 2025 Hadirkan Kolaborasi Fashion, Kecantikan, dan Fragrance untuk Dorong Ekonomi Kreatif
-
BRI Buka BFLP 2025, Peluang Emas Tingkatkan Karier Sesuai Passion
-
Ribuan Pekerja Migran Hadiri Peresmian BRI Taipei sebagai Mitra Finansial Tanah Air
-
AgenBRILink BRI di Gowa Salurkan Pupuk dan Layanan Keuangan, Dukung Petani Sejahtera